Wednesday, March 28, 2018

Doa ini dibaca ketika mau berjimak

TERDAMPAR (Sebuah pertarungan) Cerpen menggetarkan Hati. Terus Baca.

"Musim kemarau mulai mengintip. Ia sudah berada di ujung pintu"
Demikian orang-orang mengistilahkan pergantian musim. Kalau di daerah seperti di pelosok desa, pergantian musim menjadi momen paling menarik. Biasanya, masyarakat setempat memiliki aneka ragam aktivitas yang padat, seperti menanam tembakau tembakau, bawang, membakar batu kapur (gampin kata orang madura) dan semacamnya. Sebab, dengan pekerjaan itu kebutuhan hidup dapat terpenuhi.

Kyai Hari merupakan tokoh setempat. Dia adalah penduduk desa "Tana Mira". Penghasilannya dia dapatkan dari bertani. Selain itu, Kyai ini sangat tekun beribadah dan membimbing anak-anaknya belajar Alquran dan ilmu-ilmu lain.

Kyai Hari ini memiliki dua anak laki-laki. Yang tertua sudah kuliyah, sementara yg termuda masih di MA.

Kyai hari berambisi kuat putra-putranya bisa menguasai ilmu agama Islam, seperti memahami baca kitab kuning, karena dengan menguasainya memudahkan memahami substansi agama.

Berbagai usaha dilakukan agar kedua putranya betah di pesantren.

Sebenarnya, kedua putranya oleh Kyai Hari disekolahkan di pesantren, pesantren ternama di Madura. Pesantren ini pada esensinya adalah tertua di Madura. Di pesantren inilah kedua putra Kyai Hari diletakkan. Akan tetapi Tuhan menakdirkan lain, putra termudanya tidak terlalu lama belajar di pesantren karena terlalu sering kesakitan. Akhirnya, ia pindah ke pesantren yang tdk terlalu jauh dengan tempat tinggalnya.

Kyai Hari, selain sebagai orang yg tidak pernah belajar ilmu seperti teknologi, politik, tetapi dia bisa merasakan kegelisahan putra-putranya.
  Hanif, putra termuda, misalnya. Dia tampak gelisah ketika merespon teman-teman sejawatnya memiliki alat hiburan seperti HP. Dia berusaha keras melakukan caranya agar keinginannya tercapai, mulai dari beralasan bahwa HP itu adalah kebutuhan primer yg dengannya memudahkan belajarnya.

Memang, sekarang, segala hal terakomodasi di internet. Segala sesuatu ada di dalamnya. Karena itu semua orang tertarik untuk memilikinya, tidak terkecuali Hanif, putra termuda Kyai Hari itu.

  Kyai Hari mulai menangkap permainan politik putranya itu. Akan tetapi Kyai Hari berusaha untuk tidak segera mewujudkan apa yg menjadi keinginan putra termudanya. Kyai Hari khuwatir, dg diwujudkannya keinginan Hanif, putra termudanya, dapat mengurangi semangat belajar.

  Sementara putra tertuanya, Muddin, tidak terlalu sensitif, meskipun pada kenyataannya ia juga tertarik untuk memilikinya. Ia lebih tertarik membeli buku dari pada mainan itu. Sebab baginya, buku adalah teman karibnya. Dan dengan bukun itu, dapat mengetahui banyak hal tentang dunia. Ia bisa menjelajahi dunia dengan buku-buku tersebut.

  Tana Mira yg merupakan tempat kelahiran Hanif terdiri dari beberapa pemuda. Bahkan, secara entitasnya, lebih banyak jumlah laki-laki dari pada perempuan. 

  Pemuda di Tana Mira ini dari dulunya dikenal sebagai orang yg ramah, santun, suka bersahabat. Mereka terjauh dari sikap skeptis yg apabila melihat orang yg menurutnya asing, kemudian mereka mengabaikannya, justru mereka sebaliknya. Semangat menjunjung tinggi solidaritas sangat tertanam kuat-kuat pada diri mereka.

  Oleh karenya Hanif menjadi tidak betah di pesantren keduanya karena dia sudah terlanjur membangun persahabatan dengan teman sejak di rumahnya.

  Padahal, sebentar lagi dia hampir diwisuda. Wisuda sebagai santri terbaik karena kemampuannya menyelessaikan studinya di pesantren keduanya itu. Pesantrwn keduanya ini terkenal dengan sistem terbaiknya mencetak kader santri yg berpengalaman menguasai kitab tutast. Karena itu, Kyai Hari tidak mau membelikan Hanif seperti HP agar masa belajarnya menjadi maksimal.

  Terus bagaimana sikap Hanif merespon kedua orang tuanya dan kakaknya, Muddin?
  Apa yg terjadi dengan Hanif setelah dia tidak dapat menggapai apa yg menjadi citanya, apakah dia berlagak seperti orang brutal, yg berharap agar ayahnya membelikan keinginannya?
  



Tuesday, March 27, 2018

Mendialogkan Kembali Pesan Simbolik Isra Mi’raj


Mendialogkan Kembali Pesan Simbolik Isra Mi’raj

Judul buku : Rihlah Semesta Bersama Jibril As; Menguak Perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad Saw dari Aspek: Hikmah, Nilai Filosofis, Pesan Simbolos, Sufistik dan Saintifik
Penulis : Muhammad Atid dkk.
Penerbit : Lirboyo Press, Kediri
Cetakan : Kedua, September 2017
Tebal : XXVIII+444 halaman
Isra’ mi’raj dalam Islam sebagai hari bersejarah, dan karena itu ia terus diperingati sebagai hari besar Islam. Di Indonesia, setiap tanggal 27 rajab, ditetapkan sebagai hari resmi memperingati perjalanan isra mi’raj Nabi Saw yang terjadi 15 abad yang lalu. Meskipun begitu, berkaitan dengan waktu kapan terjadinya isra mi’raj, masih menimbulkan polemik di internal para ulama. Tidak ada yang bisa memastikan kapan hari, tanggal dan waktu terjadinya. Ibnu Hajar Al-Asqalani saja menampilkan, sedikitnya ada sekitar kurang lebih 10 pendapat mengenai penetapan perjalanan Nabi ini, tetapi beliau tidak sampai pada mengunggulkan pendapat salah satunya, melainkan hanya mengambil benang mirah dari beragam pendapat tersebut, bahwa (1) perjalan Nabi ini terjadi setelah terutusnya Nabi Saw menjadi Rasul; (2) setelah wafatnya Sitti Khatijah, istri pertama Nabi; (3) sebelum peristiwa hijrah.(h: 202-206)
Meskipun tidak dijumpai kata mufakat dalam menetapkan kapan terjadinya rihlah semesta Nabi Saw ini, bukan berarti memperingati peristiwa bersejarah ini tidak penting. Isra dan mi’raj Nabi, sebagai mana sebut Muhammad Atid dkk.(penulis buku ini), bukanlah peristiwa nonsens atau peristiwa tanpa makna. Peristiwa ini terjadi bukan tidak membawa pesan apapun atau hanya sekedar untuk menjemput perintah Allah Swt, yaitu perintah shalat lima waktu, perjalanan Nabi ini memiliki seleksa rahasia, pesan-pesan dan isyarat-isyarat yang sangat berharga.
Buku “Rihlah Semista Bersama Jibril As Menguak perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad Saw” ingin menghadirkan kembali nilai-nilai simbolis yang sarat hikmah untuk mengisi kekosongan sejarah di tengah-tengah dialog umat Islam. Banyak kejadian menakjubkan dan mengerikan yang dipertontonkan kepada Nabi pada saat peristiwa isra mi’raj. Seluruh kejadian itu menjadi simbol perilaku dan kehidupan seluruh manusia di muka bumi. Karenanya, buku ini sangat menarik untuk direnungi, diselami sekaligus dihayati berbagai pengalaman yang diraih Nabi Muhammad Saw dalam peristiwa isra mi’raj.
Selain itu, buku ini mengangkat sisi lain dari peristiwa isra mi’raj. Di dalamnya tidak hanya menceritakan bagaimana peristiwa unik terjadi, melainkan diulas pula nilai-nilai filosofis, pesan simbolis, sufistik sampai dengan kajian sains. Inilah kemudian, hemat kami, sisi lain yang membedai dari buku-buku yang lain yang pada saat bersamaan mengangkat kajian pada tema yang sama, yaitu isra mi’raj. Buku ini menghimpun kisah-kisah mulai dari awal dialog Nabi dengan Jibril, perjumpaan Nabi dengan para Nabi, Malaikat hingga akhirnya potret dialog Nabi dengan Tuhannya.
Di antara beberapa buku ketika membahas perihal isra mi’raj, biasanya yang diperselisihkan berputar pada permasalahan rihlah jasmaniyah dan rahaniyah. Apakah yang diisrakan adalah jasad Nabi atau rohnya saja. Ada lagi yang melalui sisi sebab-sebab terjadinya isra. Sementara itu, ada pula yang mengoraikan dari sisi sosiologis, bagaimana respon masyarakat Quraisy saat itu ketika mendengar kabar bahwa Nabi telah diisrakan. Dalam buku ini, selain juga menceritakan hal yang sama seperti yang terdapat dalam kajian buku-buku lain, lebih dari itu buku ini banyak memberikan jawaban atas sejumlah pertanyaan penting seputar isra mi’raj, dan mencoba mengajak dengan begitu detail serta mendalami kisah perjalanan sakral yang ditempuh Nabi Saw. Semisal, perbincangan perihal, apakah pengalaman isra mi’raj Nabi secara fisikal-rohani atau nonfisikal-rohani, maka buku ini berusaha menjawabnya pertanyaan-pertanyaan itu. Degan begitu, gugatan orang-orang yang tidak mempercayai bahwa Nabi pernah isra dengan alasan kurang rasional, maka buku ini mencoba menjawab segala tuduhan itu dengan detil.
Buku sangat menarik karena potensi sang penulisnya mendalami kitab-kitab klasik—mengutip bahasa KH. Abd. A’la—tidak tertidur lelap dalam tumpukan kitab turats tersebut. Dengan penguasaan penuh terhadap kitab-kitab klasik (turats) yang merupakan warisan para ulama-ulama terdahulu, menjadikan kajian buku ini sangatlah menarik. Selain itu, penulis ingin mengajak kita mendialogkan kembali tema-tema bersejarah ini, bahwa hari besar Islam (isra’ mi’raj) tidak hanya sebatas seremonial yang hanya diperingati pada hari-hari tertentu saja, melainkan secara terus-menerus dihayati, bahwa dengan isra’-nya Nabi Saw inilah hingga kemudian beliau memperoleh kado spesial dari Allah Swt, yaitu shalat lima waktu.
Peristiwa atau perjalanan (rihlan) Nabi menghadap Hadirat Allah Swt, ini merupakan kajadian yang luar biasa, yang belum dialami oleh Nabi-Nabi sebelumnya. Bahkan, Malaikat pun belum pernah mengalami hal semacam itu. Nabi Muhammad memperoleh spesialisasi untuk bisa berjumpa langsung dengan Tuhannya, sementara para Nabi sebelum beliau tidak pernah mengalami hal serupa seperti Nabi. Malaikat, yang diciptakan dari cahaya, tidak kuasa berjumpa Tuhannya. Seperti dialog Nabi Muhammad Saw dengan Malaikat Jibril yang tidak berani menemani Nabi Muhammad menuju Tuhan. Jika Malaikat Jibril sampai memaksa melangkah maju seujung jari saja dari kawasan terlarang, maka Jibril As akan hangus terbakar oleh cahaya-cahaya Ilahi. (h: 123)

Thursday, March 22, 2018

Benarkah Orang Tua Nabi itu Non Muslim? maka bacalah tulisan ini.

Benarkah Orang Tua Nabi itu Non Muslim?
Kita sering bertanya-tanya, benarkah kedua orang tua Nabi Muhammad itu non muslim. Selanjutnya, logiskah kiranya kalau darah Nabi terlahir dari orang yang non muslim yang bisa dibilang tidak suci. Kalau mau berargumen, bahwa Allah Swt pasti mampu melakukan sesuatu kita pasti terima. Akan tetapi, apakah masuk akal, bahwa seorang Nabi yang mulya itu kemudian dilahirkan dari seseorang yang terkesan tidak baik, non muslim???
Kemudian, dalam kitab suci Alquran, Allah Swt berfirman, “Dan kami tidak akan  mengadzab (manusia) sampai kami mengutus seorang Rasul kepada mereka” (QS. Al-Isra’ (17): 15).
Ayat inilah yang dijadikan dasar adanya fatrah, yaitu masa kekosongan rasul yang membimbing manusia, yaitu rentang waktu antara Nabi Isa dan Nabi Muhammad Saw. karena itulah mereka terbebas dari tuntutan hukum.
Pertama, Imam Asy-Sya’rawi (Asy-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi, [Kairo: Akhbar Al-Yaum, 1997] vol. 14, 8421) menjelaskan, siksa Allah hanya berlaku bagi manusia yang melanggar aturan agama yang dijelaskan oleh utusan Allah. Dengan demikian, mereka yang tidak mendapat bimbingan Rasul disebut “ahl al-fatrah” terbebas dari siksa Allah. Orang tua Nabi termasuk dalam kelompok ini.
Kedua, kurang logis orang-orang yang mengatakan bahwa orang tua Nabi itu adalah kafir. Allah berfirman dalam kitab suci-Nya, “Dan Allah (melihat) pergerakanmu di antara orang-orang yang bersujud” (QS. As-Su’ara’ (26): 219).
Menurut Ibnu Abbas (Abul Qasim Attabrani, Mu’jam Al-Kabir, [Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyyah, 1994] vol. 11, 326), ayat ini memantau perjalanan cahaya Nabi yang berpindah secara estafet dari para Nabi sebelumnya yang selalu bersujud kepada Allah sampai ke punggung Abdullah, sang ayah dan rahim Aminah, sang ibunda.
Tidak ada satu pun Nabi yang orang tuanya yang menyekutukan Allah. Azar, bukanlah ayah Nabi Ibrahim. Melainkan pamannya. Orang tua Nabi Saw adalah termasuk penganut agama yang hanif, yang memegang teguh agama Nabi Ibrahim, sebagaimana keimana Zaid bin Amr, Waraqah bin Naufal, dan lain-lain. Mereka bukan sama sekali penyembah berhala.[1]
Nabi bersabda, “Sungguh, Allah telah menciptakan makhluk dan menjadikan aku yang terbaih dari mereka. Kemudian dari semua kelomok itu, Allah memilih aku dari kelompok yang terbaik. Lalu, dari beberapa rumah (atau keluarga), Allah memilih aku dari keluarga terbaik. Jadi, akulah manusia di antara mereka, dan dari rumah atau garis keturunan yang terbaik pula” (HR. Tirmidzi 3607 dari Abbas bin Abdul Muthalib).
Terkait pemaknaan kata ‘abi’ belum tentu itu berarti ayah Nabi. Benar, Nabi pernah ditanya oleh para sahabat, “Wahai Rasulullah, di mana ayahku kelak?” Rasul menjawab, “di Neraka”. Ketika orang itu berpaling pergi, Rasulullah memanggilnya, “ayahku dan ayahmu di Neraka” (HR. Muslim 347 dari Anas bin Malik).
Para ulama ahlussunnah waljamaah mengartikan ‘abi’ pada hadis di atas denga ‘paman’. Sebab, dalam tradisi Arab, paman biasa dipanggil abi. Nabi Ibrahim juga memanggil Azar, pamannya dengan panggilan ‘abun’ atau ayah.[2]
Karena itu, kesimpulannya, tidal logis bila Nabi yang merupakan makhluk termulya harus menyaksikan ayah yang memancarkan sperma sehingga menjadi janin Muhammad, dan ibunya yang melahirkan, berada di dalam Neraka.



[1] Jalaluddin As-Suyuthi, Masalikul Humfa fi Walidail Musthafa, (Kaira: Darul Amin, 1993), 39-40
[2] Albaijuri, Tuhfatul Murid, (Kairo: Darussalam, 2002), 69.

Tuesday, March 20, 2018

MAKALAH SPIRITUAL

LATAR BELAKANG
A.    Pengantar
            Spiritual, dalam Islam, biasa dilakukan untuk memantapkan rohani kita untuk menjadi insan agar lebih baik dari sebelumnya. Memantapkan hati tersebut tidak semudah membolakbalikkan mata, tetapi harus dilalui dengan praktek mujahadah dengan sungguh-sungguh, agar hati bisa terlatih semakin mantap dan bersih. (Secara sederhana, sebelum manusia itu diciptakan, sebelum itu kita berupa ruh)
Seperti apa prakteknya, maka di bawah ini penulis meresa perlu terlebih dahulu merumuskan kajian dalam makalah sederhana ini agar pembahasan lebih terarah dan sesuai mikanisme yang lebih spesifik dan teratur.
B.     Rumusan masalah:
1.      Pengertian spiritual
2.      Kiat membangun kecerdasan spiritual melalui olah qolbu
3.      Karateristik orang yang memiliki kecerdasan spiritual
4.      Praktek pendidikan spiritual nabi Muhammad saw



PEMBAHASAN
A.    Pengertian kecerdasan spiritual
Menurut kamus Webster (1963) kata spirit berasal dari kata benda bahasa latin “spirit” yang berarti nafas dan  kata kerja” spirare” yang berarti untuk bernafas. Jadi, melihat dari asal katanya untuk hidup adalah untuk bernafas, dan bernafas artinya memilki spirit. Dalam hal ini memilki ikkatan yang  lebih kepada hal-hal yang bebrsifat kerohanian atau kejiwaan.
Sebagai penggagas utama kecerdasan spiritual yakni Zohar dan Marshall.Mengemukakan tentang pengertian kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengana yang lain. SQ adalah landasann yang d iperlukan untuk menfungsikan IQ, EQ secara  efektif, bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi.
 Pada mmmulanya  manusia berada ditempat yang tinggi sebagai makhluk spiritual murni yang kemudian ruh spiritual itu dipadukan kedalam materi yang kongkrit bberupa tubuh atau jasad manusia yang terbuat dari tanah. Maka lahirlah manusia  yang tidak hanya memilki tubuh tetapi memilki sifat spiritual sebagaimana firman Allah dalam surat al-a’raf 7: 132.
Artinya:
“Dan  ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak adam a dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman).”bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab” betul” (engkau Tuahn kami). Kami menjadi saksi. (kami lakukan yang demikian iitu)  agar dihari kiamat kamu  tidak mengatakan. “sesungguhnyha kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (ke-Esaan Allah).
Dalam  termenologi islam dapat dikatakan bahwa SQ adalah kecerdasan yang bertumpu pada qolb. Qolb inilah yang sebenarnya merupakan pusat kendali semua gegrak anggota tubuh manusia.Ia adalah raja bagi semua anggota tubuh yang lain.
Spiritual dalam pengertian yang luas merupakan hal yang berhubungan dengan spirit.Sesuatu yang spirit merupakan kebenanran yang abadi yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia. Sering dibandingkan dengan sesuatu  yang duniawi dan sementara. Pihak lain yang mengatakan  bahwa spiritualitas memilki dua proses, pertama: proses keatas yang merupakan tumbuhnya kekuatan internal yang mengubah seseorang dengan Tuhan. Kedua: proses kebawah yang ditandai dengan peningkatan realistis fisik seseorang akibat perubahan internal. Perubahan akan timbul pada diri seseorang dengan meningkatkan kecerdasan diri Diana nilai-nilai ke Tuhanan didalam akan termanifestasi keluar melalui pengalaman dan kemajuan diri. Dari   beberapa uraian pengerian diatas dapat disimpulkan bahwa pengerian spiritual (SQ) adalah kecerdasan yang berhubungan erat dengan bagaimana menghadapi persoalan makna hidup atau bagaimana hidup menjadi bermakna dengan bertumpu pada qolb (hati yang secara  fitrah mengakui ke-Esaan Allah).
B.     Kiat membanngun kecerdasan spiritual melalui olah qolb
Pada dasarnya manusia itu dilahirkan dengan bekal fitrah kecerdasan  spiritual untuk mengenal Allah dan beriman kepadaNya. Namun kenyataannya bisa dikatakan manusia modern ini sedang mengalami krisis kecerdasan spiritual yang terbukti dengan adanya banyak penyimpangan dan konfik sosial yang banyak dilakukan oleh orang yang memilki kecerdasan intelektual yang tinggi dan kecerdasan emosional yang tinggi pula.
Semua orang menyadari bahwa kesuksesan manusia itu tidak hanya  diukur oleh kecerdasan intelektual (IQ), ataupun kecerdasan emosional (EQ) yang dipromosikan didunia pengetahuan. Tetapi juga ditentukan oleh kecerdasan spiritual. Ketika kecerdasan intelektual diperoleh melalaui olah akal, dan kecerdasan emosional diperoleh melalui olah jiwa maka, kecerdasan spiritual diperoleh melalui olah qolbkarena seluruh gegrakan  dan sepak terjal manusia bersumber dari satu titik yaitu qolb. Yang dalam bahasa indonesianya sering diterjemahkan dengan hati. Qolbulah yang mengendalikan segala bentuk tingkah laku manusia, dari sana kedamaian mengalir dan dari sana  pula kesengsaraan bermula sesuai dengan sabda nabi saw:
عن نعمان بن بشير ال  سمعت رسول اله صلعم قال  الا وان في الجسد مضغة ادا صلحت صلح الجسد كله وادا فسدت فسد الجسد كله ا  وهي القلب  رواه البخاري
Dari Nu’man bin Basyir ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “ ketahuilah bahwa didalam tubuh manusia ada segumpal   daging,  apabila  ia baik maka baikpula seluruh fisik manusia, dan sebaliknya apabila ia buruk maka buruk pulalah sekujur tubuhnya, ketahuilah bahwa ia adalah hati.(HR Bukhari)
            Langkah penting untuk meningkatkan kecerdasan spiritual, namun hal ini harus disertai dengan latihan, ketekunan dan kesabaran diantaranya:
1.      Banyak merenung persoalan-persoalan hidup baik yangterjadi dalam diri  sendiri maupun diluar diri sendiri secara mendalam contohnya; merenung atau selalu bertanya-tanya tentang “sebenarnya siapa saya? Dan hendak kemana saya? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang fundamental yang mengantarkan manusia pada kecerdasan spiritualntualnya
2.      Melihat kenyataan-kenyataan hidup seperti kematian, kecelakaan dan musibah-musibah lain yang terjadi secara nyata dihadapan kita atau manusia
3.      Merasakan kehadiran Allah yang begitu dekat pada saat dzikir, shalat dan dalam aktifitas-aktifitas lain.
4.      Berdo’a. dari rangkaian-rangkaian usaha yang kita lakukan, bebrdo’a juga bebrperan penting sebagai bukti bahwa  manusia menyadari kelemahannya. Manusia hanya diberi fasilitas untuk dimanfa’atkan sedangkan hasilnya Tuhan yang menentukan.
Salah  satu cara lain untuk mengembangkan kecerdasan spiritual sebagaimana yang telah disebut diatas bahwa untuk meraih kecerdasan spiritual satu-satunya adalah dengan memanaje atau memngolah hati dan  mengobatinya.
Cara menyembuhkan penyakit qalbu itu ada  lima
1.      Membaca al-qur’an  sebagaimamna yang disabdakan nabi saw:
عن ابي امامة الباهلي قال سمعت رسول الله صلعم  يقول اقرؤا القران فانه ياتي يوم القيامة شفيعا لاصحابه   رواه المسلم
“Dari Abu Umamah al-Bahili, berkata,” saya mendengar Rasulullah sawbersabda,” bacalah al-Qur’an karena al-Qur’an a  kan datang pada  hari kiamat dan memberikan syafa’at pada orang-orang yang suka  membacanya (HR Muslim)
Allah   juga berfirman dalam surat yunus ayat 57
“hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan  penyembuh dari penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (Q. yunus, 57)
1.      Berpuasa sebagaimana hadits nabi saw:
عن ابي سعيد الخدري رضي الله عنه قال سمعت النبي صلعم يقول من صام يوما في سبيل الله بعد الله وجهه عن النار سبعين خريفا  رواه البخاري
“ dari Abi Sa’id al Khudri ra  ia berkata, “ rasulullah saw bersabda, “barang siapa yang berpuasa satu dalam jalan Allah swt, maka Allah swt akan menjauhkan dari api neraka selama tujuh puluh  tahun (HR Bukhari)
2.      Shalat malam (tahajjud) dengan khusyu’
Allah bebrfirman dalam surat  al-isra’ ayat: 79
“Dan pada sebagian  malam hari bersembahyang tahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ketempat yang terpuji”
Sabda  nabi  saw tentang hal ini:
عن بلال ان رسول الله صلعم قال عليكم بقيام الليل فانه داب الصالحين قبلكم وان قيام الليل قربة الي الله ومنهاة عن الاثم وتكفير للسييات ومطرة للداء عن الجسد   رواه الترميدي
“ dari Bilal, sesungguhnya Rasulullah saw bersabbda, “hendaklah kamu melaksanakan shalat malam karena  hal itu adalah kebiasaan orangorang shaleh sebelum kamu. Ia dapat mendekatkan  kamu pada Tuhanmu. Mencegah  perbuatan doa, menghapus segala keburukan, serta  mengusik penyakit  dari jasad (HR tirmidzi).
3.      Berdzikir
Suasana tenang dan hening akan menjadikan seseorang lebih husyu’, konsentrasi dan meresapi dzikir dan do’a yang dibaca. Sungguh sangat terpuji bagi seorang hamba yang dududk bersimpuh dihadapannya dengan titik air  mata mengalir seraya memohon ampuna tas dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Dan menyesali, meneguhkan qolbu untuk tidak megulangi lagi semua noda dan dosa yang dilakukan.
Dengan teru-menerus  berdzikir seperti ini maka qolbu akan menjadi tenagng dan tentram. Dan  itulah symbol orang-orang taqwa yang Allah menjanjikan  kepadanya denngan balasan surga. Yakni firman Allah dalam surat azzariyat ayat 15-18:
Artinya:
”Sesungguhnya orang-orang bebrtaqwa berada ditaman-taman (surga) dimata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan  kepada  mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu didunia adalah orang-orang yang berbuat baik; mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam; dan di akhir-akhir  malam mereka memohon ampun (kepada Allah swt).
4.      Bergaul denngan orang-orang shaleh
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, termasuk  dalam  hal berteman. Manusia sangat membutuhkan seorang sahabat.Dan dalam pertemanan perlu adanya kecocokan.Karena itu, selektif dalam bergaul sangat dibutuhkan. Teman   dapat membawa  kita pada  kebahagiaan sekaligus akan menjerumuskan kita pada lubang kesesatan yang sangat dalam.
C.     Karakteristik orang  yang memilki kecerdasan spiritual
Menurut Jalaluddin Rahmat (2007) individu yang memilki kecerdasan spiritual tinggi memilki beberapa karakteristik sebagai berikut:
1.      Kemmapuan untuk mentransenndensikan yang sfisik dan meterilal.
2.      Kemampuan mengalami tingkat kesadaran yang memuncak.
3.      Kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari.
4.      Kemampuan: untuk menggunakan sumber-sumber spiritual sebagai bahan untuk menyelesaikan masalah.
5.      Kemampuan untuk bisa berbuat
Karakteristik diatas baik secara fisik maupun material merupakan komponen inti  dari kecerdasan spiritual. Orang yang cerdas secara spiritual menyelesaikan masalah tidak hanya menggunakan rasio dan emosi saja tetapi bisa menggunakan makna hidup secara spiritual.
Orang  yang memilki kecerdasan spiritual juga bisa dipandang pada  perilakunya yang baik, suka tolong-menolong, mengasihi sesama, arif dalam menyikapi persoalan (memahami iman, mmendalami islam, dan mengamalkan ihsan). Kkarena Rasulullah juga pernah bebrsabda:
خير الناس انفعهم للناس                   
Artinya:
“Sebaik-baik manusia adalah memberikan manfa’at kepada manusia yang lain.
Suka mema’afkan juga termasuk ciri dari orang yang memmilki kecerdasan spiritual. Tindakan mema’afkan adalah untuk kebaikan kita sendiri bukan untuk orang lain karena akan membawa kita pada  kemuliyaan, kesehatan dan keselamatan. Sikapa mmembenci  a kan membunuh pada diri kita sendiri baik didunia maupun diakhirat .Allah swt berfirman” dan  hendaklah mereka suka mema’afkan dan  mengampuni, bukankah kalian menginginkan Allah mengampuni kalian (Qs An-Nur 24: 22).
D.    Praktek pendidikan spiritual  nabi Muhammad saw
Rasulullah adalah teladan bagi ummat manusia tiada yang melebihi keagungan kepribadiannya, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa peneliti ilmuan didunia (Amstrong) mengakui bahwa Muhammad adalah genius, spiritual intelegensi, orang yang pantas mendapat julukan pendidk  ulung yang mampu menjadikan murid-muridnya  tidak hanya pandai secara intelektual, emosinal tapi juga matang dari segi spiritual. Salah satu contoh murid  nabi  yang hebat: cerdas IQ, EQ, SQ adalah sayyidinah Abu Bakar, Umar Utsman dan sayyidina Ali dan  sahabat-sahabat lain yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu dalam pembahasan ini.
Amstrong juga menjelaskan dengan jujur  bahwa beliau adalah seorang yang sangat cerdas (a man of exceptional genius)dan juga spiritualgenius. Sebagai seorang pendidik  agung manusia tentu  nabi memilki keinginan yang kuat untuk menularkan “virus” kecerdasan spiritualnya kepada ummatnya melalui pengajaran dan pendidikan yang berlangsung bersama sahabat-sahabatnya. Pendidikan spiritual yang diajarkan nabi MUhammamd saw pada peserta didiknya adalah spiritual yang mewujud dalam kepribadian yang nyata yang kongkrit yang d itandai  dengan  kejujuran yang  tinggi, integritas, kedissiplinan, keteguhan memegang prinsip, sanggup melampaui segala bentuk rintangan, kesedihan dan lain-lain yang semua materi disumberkan  pada al-Qur’an. Al-Qur’an selain menjadi media pendidikan al-Qur’an juga menjadi kerikulum utama pendidikan beliau salah satu contoh pendidikan spiritual yang dicontohkan nabi  yaitu:
عن ابي هريرة رضي الله نه قال  قال رسول لله صلعم انضرواالي من اسفل منكم ولا تنضرواالي من هو فوقكم  فهو اجدرا ان لا تزدروا نعمة الله
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra Rasulullah saw bbersabda lihatlah orang yang lebih rendah dari kalian, dan janganlah kalian melihaht orang yang lebih tinggi dari kalian. Hal itu  lebih pantas dari kalian agar tidak meremehkan nikmat  yang telah diberikan Allah atas kalian (HR Bukhari Muslim).
Kandungan spiritual dari pesan  hadits diatas  bahwa nabi tidak menginginkan muridnya menjadi orang   yang kufur ni’mat. Tetapi menginginkan muridnya percaya diri, menerima atas apa yang dikehendaki Allah. Disamping itu mengandung pesan spiritual agung seperti: melihat orang yang lebih rendah dari kita. Artinya banyak  yang harus kita lihat dibelakanga atau di bawah kita : menyantuni anak yatim, beri makan fakir miskin, dan lain-lain.
Nabi Muhammad juga sangat tidak senang kepada muridnya yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk melakukan shalat malam, puasa terus-menerus sepanjang hidupnya atau bahkan ada yang tidak mau menikah dengan perempuan, karena semata-mata ingin mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana sabdanya:

Artinya:
“Ada tiga orang yang datang kerumah istri-istri nabi saw. Mereka semua menanyakan bagaimana ibadah yang dilakukan oleh nabi saw. Setelah mereka diberi tahukan (tentang ibadah   nanbi saw) mereka seakan-akan menganggap sedikit dan mereka  berkata: (kaalu begitu) dimanakah posisi kita disbanding nabi saw padahal dosa beliau yang s udah lalu dan dosa yang akan datang sudah diampuni? Salah satu dari mereka lalu berkata: “ saya akan melakukan  shalat  malam selamanya”. Yang lain mengatakan: “ saya a kan berpuasa sepanjang tahun, selamanya, dan saya tidak a kan berbuka”. Yang lain lagi mengatakan:” saya akan menjauhi wanita selamanyasaya tidak akan menikah”. Setelah itu Rasulullah saw datang kepada mereka dan bersabda:” kalian yang berkata begini dan begini? Ingatlah, demi Allah! Saya adalah orang yang  paling takut kepada Allah dan paling taqwa (dianntara kalin). Akan tetapi saya  berpuasa dan saya berbuka. Saya melakukan shalat dan saya tidur.Saya juga menikahi perempuan. Siapa yang tidak senang terhadap sunnahku, maka di bukan golonganku!.
Dengan demikian spiritual yan dikehendaki nabi Muhammad saw adalah spiritual yang manusiawi yang tidak sampai mengekang atau membunuh. Sifat-sifat dan karakter  dasar manusia, nabi Muhammad saw sering menegaskan kepada murid-muridya bahwa dirinya adalah manusia biasa seperti mereka juga pernah sakit, pernah berbuka saat puasa sebagaimana firman Allah  dalam surat al-kahfi.
Itulah serangkaian contoh dan praktek pendidikan spiritual  nabi Muhammad saw dan mamsih banyak contoh-contoh lain yang diberikan nabi dalam pengembangan spiritual pada murid-muridnya.
Sebagaimana fitrahnya manusia dikaruniai kecerdasan oleh Allah berupa kecerdasan  intelektual (IQ) kecerdasan emosional(EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). ketika kecerdasan intelektual dapat juga  diperoleh melalui pendidikan seperti belajar, membaca dan menulis serta mengkaji ilmu-ilmu yang lain yang  berkaitan dengan mengasah otak dan meraih kecerdasan intelektual yang tinggi. Dan kecerdasan emosional biasanya diperoleh melalui  pergaulan hidup serta kecerdasan spiritual biasanya diperoleh dari kematangan hidup. Kematangan  hidup dapat kita teladani nabi Muhammad saw sejak lahir hingga wafatnya beliau. Kehilangan orang yang beluiau cintai, penderitaan saat menyebar luaskan islam.
Keutuhan spiritual adalah potensi untuk selalu menjadi baik memaksa seseorang untuk mencari jalan bagi spiritualitasnya.Yang dicari adalah ketenangan hidup (kebahagiaan hidup) dan makna hidup.Semua tidak bisa diberikan oleh kelimpahan materi, ketinggian jabatan dan popularitas.

Keutuhan spiritualitas dapat diperoleh melalui jalan integritas diri, penghormatan (kometmen) pada kehidupan dan penyabaran kasih sayang, dan cinta.Hal-hal ini tidak berkaitan langsung dengan ritual agama.Maksudnya tidak selalu orang yang rajin shalat, rajin kegereja, naik haji berulangkali adalah orang yang memilki spiritualitas.Justru banyak agamawan yang kehilangan spiritualitasnya karena terlalu mengandalkan ritual, upaccara dan formalitas agama. Ritualitas dan spiritualitas adalah dua  hal berbeda walaupun berkaitan.

RAKYAT KECIL BUTUH FIGUR

KRISIS FIGUR
Figur merupakan sosok terpenting dalam kehidupan sehari-hari. Posisinya sebagai figur, paling tidak, ia menjadi cerminan dalam berproses menjalani kehidupan menjadi semakin baik”.
Kalimat singkat, padat, sarat kritik muncul dari salah satu peserta anggota rapat, yang menyadari akan eksistensi figur dalam kehidupan mereka. Usulan yang muncul dari peserta rapat merupakan respon atas kegelisahannya yang akhir-akhir ini mulai dirasa hampir punah—untuk tidak mengatakan nyaris sama sekali tidak ada. Sebagai implikasinya, kamar yang pernah mendapatkan pengakuan sebagai kamar terbaik, kini mulai kehilangan jati dirinya sebagai kamar representatif (unggulan), dan penduduk kamar yang terkenal aktif dan ramah, lingkungan yang damai dan struktur kepengurusannya yang baik, agenda kamar yang rutin, tertib dalam menta’ati aturan, yang sedari dulu amaliyah hasanah ini oleh penduduk kamar dilestarikan, akhir-akhir ini mulai luntur. Hal itu, menurut mereka, disebabkan tiadanya seorang figur yang bisa mencerminkan dirinya sebagai teladan hidup.
Atas dasar beberapa kasus di atas, mereka (penduduk kamar) menjadi berani melakukan tindakan amoral, dengan melakuakan sebuah tindakan yang sama sekali kurang bermanfaat. Mereka tidak lagi menta’ati aturan yang ada. Mereka menganggap bahwa aturan tersebut telah ternodai. Lebih dari itu, aturan tidak lagi mengikat sebab tidak ada lagi figur, sebaliknya mereka menilai bahwa semua ini sama: tidak ada lagi senioritas yang bisa didengar ucapannya, nasihatnya meskipun itu baik, selain itu mereka menilai bahwa hanyalah keburukan yang ada pada diri senioritas, yang tidak lagi patut untuk diteladani.
Sejujurnya, tidak seorang pun di antara sekian senioritas yang dirinya telah merasa paling benar. Selanjutnya, secara jujur, tidak mungkin ada—meskipun ini benar kenyataannya—dari sekian santri senior mau dirinya dijadikan figur, sebab dirinya merasa kurang pantas untuk di posisi seperti itu. Secara personal, mereka memiliki keinginan yang tidak jauh berbeda dengan santri junior, yaitu sama-sama ingin belajar memperbaiki diri, terlepas dari beban moral yang selama ini telah disandingkan pada diri mereka (senioritas). Tetapi karena hal itu merupakan beban moral mereka, karena mereka merasa bahwa selama ini telah dibesarkan dan dididik di pesantren tempat menuntut ilmu, meskipun dengan berat hati dan diliputi perasaan waswas, maka dicobanya untuk menjalankan tanggung jawab tersebut.
Keudian muncul pertanyaan, pantaskah kita menjadikan dia sebagai pemimpin sementara dia pernah mengalami masa kelam?
Menurut penulis, itu wajar-wajar saja. Sifat salah pasti dimiliki oleh setiap manusia. Sebab, kesalahan adalah sifat manusiawi yang pasti dimiliki oleh setiap manusia. Para utusan sekalipun pernah melakukan kesalahan. Misalnya Nabi Adam As, yang merupakan bapak dari semua manusia, pernah berbuat salah. Hingga pada akhirnya beliau diusir oleh Allah dari Surga ke Bumi. Nabi Ibrahim As yang diklaim sebagai bapak dari tiga agama (Yahudi, Nasrani dan Islam), pernah ditegur oleh Allah karena pada suatu ketika beliau telah tidak memberikan jamuan terhadap orang yang tidak mau mengikuti ajarannya. Tidak lama Allah mengirimkan wahyu kepadanya, “Wahai Ibrahim, orang ini berpuluh-puluh tahun dia kufur kepada saya, tetapi dia tidak pernah saya putuskan rizkupun sehari saja, baru kali ini saya wakilkan rizkinya melalui engkau sementara engkau mengajukan syarat ini dan itu”. Beliau ditegur karena telah membiarkan dia (non-muslim) kelaparan, sementara Allah sendiri memberikan dia makan dan tidak pernah memutuskan rezekinya sehari pun: sebab tidak semua orang yang berbuat kejelekan selamanya akan melakukan kejelekan. Pasti pada diri mereka itu ada pula nilai-nilai kebaikannya. Barangkalai juga manusia sekelas santri senior?.
Kisah selanjutnya, ada orang perempuan yang pernah berbuat zina datang kepada Nabi Muhammad Saw memohon agar Nabi menegakkan hukum Allah Swt padanya. Terus apa kata Nabi, “kamu hamil, tunggu sampai kehamilanmu selesai”. Setelah si perempuan itu melahirkan dan mendatangi Nabi yang ke dua kalinya, Nabi menahannya lagi sampai ia menyusui bayi tersebut sampai dua tahun. Setelah selesai menyusui, maka dijalankanlah hukuman baginya. Kemudian ada salah seorang mencelanya dengan ucapan yang sama sekali tidak mencerminkan ucapan (akhlaq) yang baik, lalu Nabi marah dan menegurnya, “Tau apa engkau. Saat ini dia sedang berenang di sungai, Surganya Allah. Siapa gerangan yang lebih hebat dari dia, yang menyerahkan nyawanya untuk menjalankan aturan dan hukuman dari Allah Swt”. Nabi Saw tetap melarang untuk mencaci terhadap orang yang berbuat maksiat, mungkin dia telah bertaubat kepada Allah Swt.
Larangan mencaci maki sebetulnya sangat dilarang di dalam Alquran maupun di dalam Hadis. Selanjutnya, bagaimana dengan kita yang posisinya sebagai santri terhadap senioritas, yang menurut persepsi kita, bahwa mereka telah pernah berbuat salah? Apakah mereka tetap menilai bahwa selamanya ada nilai-nilai keburukan dan sama sekali tidak ada nilai kebaikan pada diri mereka? Tunggu dulu.
Di kisah yang lain, Nabi juga melarang mencela seseorang yang ayahnya terus-menerus berbuat kejahatan. Sementara putranya akan datang dalam keadaan Islam. Nabi melarang umat Islam mencela dengan menyebut-nyebut keburukan ayahnya, “jangan kalian mencaci maki orang-orang musyrikin yang sudah meninggal dunia, sebab orang-orang yang masih hidup akan merasa terganggu jika para leluhur mereka dicaci maki”. Agama Islam tidak dibela dengan cacian. Agama Islam tidak dibela dengan makian. Agama Islam akan jaya apabila dibela dengan rahmat dan kasih sayang, kegigihan dan kesungguhan dalam menjalankan dakwah dan agama yang dibawakan oleh Rasulullah Saw.
Selanjutnya, Nabi Muhammad Saw dalam mensyi’arkan agama Tuhan, beliau tidaklah lepas dari sasaran makian dan cacian umatya. Dalam catatan sejarahnya sering diceritakan, bahwa Nabi ketika dibuli oleh umatnya, beliau tidak marah, jauh dari itu beliau mendoakan agar umatnya tersebut diberikan kesadaran melalui hidayah Allah. Meskipun begitu, Nabi tidak mendoakan mereka—umat yang memusuhi Nabi—dengan doa yang jelek-jelek. Lain dari pada itu Nabi malah menyadari atas sikap kasar mereka. Sebab, bagi Nabi, tidak melulu pada diri umatnya ada nilai kejahatan, suatu saat mereka akan sadar setelah mendapatkan rahmat dari Tuhan, tentunya melalui hidayah tersebut. Dengan sikap lemah lembut dan kasih sayang Nabi itulah, kaum kafir Quraisy lambat laun memeluk Islam.
Sementara itu, tidak sedikit dari kalangan non-muslim di Barat (orientalis) meneliti kisah Nabi, hayatu Muhammad Saw, banyak dari kalangan mereka menyimpulkan bahwa Nabi adalah sosok ideal yang ramah, jujur dan bersahabat dengan siapapun, meskipun dengan kelompok di luar komunitas muslim itu sendiri. Apalagi dengan kelompok muslim?. Nabi Saw juga pernah berpesan, “Mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya,” (HR. Abu Daud dan Ahmad). Dalam hadis lain, “Orang yang paling baik Islamnya adalah yang paling baik akhlaqnya,” (HR. Ahmad). Dengan demikian, kita harus pandai mencerminkan prilaku Nabi yang baik ini, tentunya dengan mengimplementasikan akhlaq yang baik dalam bingkai kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, jelas bahwa mengaktualisasikan akhlah dalam bingkai kehidupan kita sehari-hari, adalah merupakan bukti dari penghambaan dan ketundukan kita kepada Allah, serta kepatuhan kita dalam mencerminkan akhlaq Nabi Muhammad Saw.
Nabi Saw juga berpesan agar kita senantiasa tidak jauh dari para ulama. Sebab ulama adalah sosok panutan yang memiliki visi-misi melanjutkan misi (risalah) yang pernah didakwahkan Nabi. Terkait term ulama, Syekh Muhammad Nawawi bin Imam al-Jawi dalam kitabnya, nashaih al-‘ibat, mengklasfikasikan ulama ke dalam tiga bagian, Pertama, orang yang menekuni hukum-hukum Allah Swt. Seperti pemberi fatwa. Kedua, orang yang mengetahui terhadap dzat Tuhan. Orang itu dinamakan ahli hikmah. Dalam interaksinya dengan sesama, mereka ini (ahli hikmah) selalu dihiasi dengan akhlaq, sebab di dalam hatinya telah terpancar sinar (nur) keagungan Tuhan Swt dan hatinya merasakan kehadiran Tuhan. Ketiga, orang yang sangat agung. Di antara ketiganya tersebut, predikat ini mungkin saja telah ditempuh oleh teman-teman di antara kita, baik kakak senioritas kita yang menggauli kita, guru-guru kita yang tiada hari dan waktu setia membimbing kita, atau barang kali diri kita sendiri orangnya. Tidak ada orang yang mengetahui itu, wallahu a’lam.

Tingkatkanlah sesuatu yang bermanfaat, dan tinggalkanlah sesuatu yang kurang bermanfaat. Ingat, menunjukkan sikap angkuh adalah merupakan kesalahan besar. Nabi menegaskan, bahwa akan datang suatu masa di mana orang-orang akan lari dari ulama—seperti tidak menta’ati titahnya yang baik. Atas orang yang demikian ini, akan ditimpakan balasan yang sangat pedih (Syekh Muhammad Nawawi bin Imam al-Jawi, ttp: 6).

Monday, March 19, 2018

cerpen satu

“Sebenarnya saya tidak setuju atas perilaku Hasan,” kata Febri kepada Marzuki mengawali pembicaraan.
“Emangnya kenapa dengannya?” kata Marzuki.
“Tidak suka aja”
“Ea kenapa, kok tumben kamu gitu. Kamu gak biasanya seperti ini. Yang saya tau, kamu suka bersahabat dengan siapa saja. Sementara sekarang, tumben kamu marah-marah sama seseorang”.
Febri mimang dikenal oleh teman-temannya sebagai orang pendiam. Hari-harinya kegiatannya, kalau tidak membaca buku, biasanya dia ngompul-ngumpul bersama teman-temannya, bergurau dan lain-lain. Selain itu, dia terkenal kalem dan santun. Karenanya menjadikan Marzuki terheran-heran ketika melihat Febri kedapatan tidak seperti biasanya; marah-marah pada Hasan, temannya sendiri di kepengurusan pesantren, tempat mereka belajar. Dan karenanya, Marzuki mengklarifikasinya dengan harapan mendapatkan kejelasan darinya, Febri.
“Saya tidak marah-marah, karenanya itu bukan karakterku”
“Terus kenapa,” tanya Marzuki berharap mendapatkan kejelasan.
“Aku hanya tidak suka terhadap perilakunya itu”
“Perilaku yang di mana. Sepertinya, dia biasa-biasa saja, hanya saja saya sering melihat dia suka ketawa terbahak-bahak, atau dia terkadang joget-joget saat mendengarkan musik yang dia sukai”
“Nah itu masalahnya. Kita kan tahu kalau kita senioritas di sini. Sebagai senioritas, pastinya harus mendidik adik-adik kita kepada perilaku yang sepantasnya, sebagaimana kita diajarkan oleh kakak senior kita dulu. Apakah kamu pernah diajarkan bersikap seperti ini oleh senioritas kita pada saat kita baru masuk pondok ini?”
“Tidak juga sih”
“Nah, itu masalahnya”

Lanjut cerita di edisi berikutnya.

Sunday, March 18, 2018

Selayang Pandang As-Syafi’ie 07



Semual, As-Syafi’ie 07 itu kurang begitu populer seperti hari ini, dengan menjalankan beberapa program, yang mana p[rogram ini bisa terus selalu eksis dan mengalami perbaikan secara dinamis menjadi semakin membaik. Pada awalnya, As-Syafi’ie tidak lah jauh berbeda dengan rayon-rayon yang lain pada umumnya—seperti rayon Al-Ghazali, Al-Asy’Ari dll—dengan menjalankan beberapa program ala kadarnya, yang mana program tersebut sudah menjadi bagian tradisi pesantren, yang—sepertinya—dari semula tidak ada perubahan. Seperti kita saksikan, As-Syafi’ie sebelum mengembangkan kegiatan yang pada hari ini sudah begitu populer di daerah Latee, semula rayon ini belum memiliki kegiatan yang terlalu formal, yang hemat kami, itu kegiatan tersebut turut membantu pesantren dalam mengembangkan intelektualitas santri. Sebut saja misalnya adalah

“diskusi”, “komunitas menulis”, dan beberapa kegiatan yang lain, yang sangat membantu dalam meningkatkan semangat belajar santri dalam mengembangkan intelektual mereka. Akhirnya, lahirlah beberapa kegiatan di masing-masing kamar seperti diskusi ini. “Diskusi” adalah program paling dominan dari pada kegiatan-kegiatan yang lainnya. Meskipun begitu, ada program-program yang lain seperti program tulis-menulis, akan tetapi karena beberapa alasan anggotanya seperti adanya beberapa kegiatan di beberapa lembaga, tempat mereka belajar, menjadikan kegiatan yang sangat penting ini molor. Sebagai konsekuensinya, kegiatan tulis-menulis tidak berjalan maksimal. As-Syafi’ie 07, misalnya, yang memiliki buletin kebanggaan kita bersama, sebut saja “Tabligh (Media Kreasi dan Dakwah)”, sampai hari ini belum terbit kembali. Padahal, dari hitungan edisinya, Tabligh sudah seharusnya terbit, mengingat jangka waktu yang lama yang memisahkan dirinya denga para pembaca menjadikan para pembaca merindukan seperti apa wajah Tabligh di edisi yang berikut ini, mutifasi apa yang akan pembaca akan peroleh, kini pertanyaan itu terus menggelora dari mulut-kemulut para  netizen, yang sampai hari ini perbincangan itu belum selesai.



GURU[1]; Digugu dan Ditiru*



Saya semakin bingung atas sikap santri yang kian hari mengalami perubahan, dengan tidak mencerminkan sebagai seorang santri yang seyogianya, sebagaimana dalam kesehari-hariannya tidak bisa dilepaskan dari yang namanya akhlaq, kini kebiasaan yang sejatinya harus dirawat nyaris tidak lagi diperhatikan (terjadi demoralisasi). Kalau santri dulu (senioritas) menganggap bahwa akhklaq itu adalah merupakan sesuatu yang sangat signifikan, maka tidak demikian halnya dengan santri sekarang (yunioritas). Justru akhlaq dinomor duakan.
Ada beberapa penyebab yang menjadikan seseorang semacam itu. Di antaranya, kekurang-tahuan, kurannya perhatian dan ketidak-terbiasaan ketika seseorang itu dalam kesehariannya menjunjung tinggi etika yang baik. Sebagai contoh, umpama saja, masih saja acangga’ (bahasa pondoknya melawan) orang yang lebih tua, tertawa kelewatan batas, suka syirik, riya’, mengganggu orang lain, padahal agama secara tegas melarang perbuatan itu.
Atas kasus ini, sebagai seorang santri hendaknya berlaku baik dengan terus selalu menciptakan individu-individu yang berkarakter baik, sopan, bahkan sebisanya menjadi cerminan bagi yang lain. Tentu, untuk bisa berlaku baik, sebelum melangkah pada memperbaiki orang lain, terlebih dahulu tentunya harus memulai dari membenarkan perilaku diri kita masing-masing. Terus pertanyaannya, sampai kapan saat-saat yang pas bagi kita untuk menegakkan “amar ma’ruf nahi mungkar” sementara kita kurang merasa pantas karena berbagai alasan dan pertimbangan?
Ada baiknya tulisan ini pembaca ikuti sampai titik-titik terakhir. Utamanya bagi mereka para santri, baik santri senior ataupun junior. Senyatanya, tidak ada perbedaan yang mencolok antara santri senior dengan junior. Di mata Tuhan, semuanya sama, yaitu tidak membeda-bedakan derajat (kedudukan) dan keturunan, antara yang kaya atau yang miskin, yang ganteng atau pun yang jelek. Tidak, Dia bahkan lebih menyukai orang yang lemah dan rendah diri—siapapun itu—dari pada yang sombong, riya’, dan angkuh, atau bisa jadi orang yang merasa sok suci tetapi kelakuannya sama sekali tidak mencerminkan perilaku yang baik. Sebagai seorang manusia sama-sama memiliki kewajiban untuk menegakkan yang ma’ruf (pekerjaan yang disenagi oleh Allah Swt) dan menjauhi perkara yang mungkar (kelakuan yang dibenci Allah Swt).
Unsur kelembutan atau kerendahan hati, sebagai sikap manusia terhadap kebaikan Tuhan, merupakan titik poros etika Islam sebagian besar, meskipun tidak semuanya, tugas-tugas moral yang dikenal dalam Islam sesungguhnya berasal dari kebaikan tersebut. Kebaikan diperintahkan kepada orang-orang beriman dalam setiap keadaan. Kebaikan haruslah merupakan sebuah prinsip yang melandasi semua hubungan manusia dalam masyarakat maupun dalam keluarga. Karenannya, sebagai pengelola pesantren seringkali menyampaikan kepada seluruh santri, baik dalam bentuk tausiyah, dalam kelas, kamar, dan dalam keadaan ketika santai, menekankan para santri untuk selalu rendah hati dan lemah lembut terhadap sesama, terhadap orang tua, dan selalu melakukan mereka dengan baik. Guru ataupun pengurus adalah orang tua para murid. Makanya di dalam pendidikan diistilahkan dengan “anak didik”, sebab para guru mendapatkan amanah untuk mengawasi, membina, mengarahkan, membesarkan, merawat, mendidik kepada yang baik.
Pendidikan di pesantren tidak lah jauh berbeda dengan pendidikan-pendidikan pada umumnya di luar pesantren dalam hal kurikulum pelajarannya; kendatipun ada sebagian pesantren yang dalam prakteknya, tidak menggunakan sistem dualisme kurikulum pelajaran. Yang berbeda mungkin adalah dalam hal praktek penerapannya. Tulisan ini tidak hendak ingin mendiskusikan seperti apa wajah beserta implementasi pendidikan di pesantren. Yang akan didiskusikan di sini adalah penyebab demoralisasi santri di pesantren.
Secara historis, pesantren mendapatkan tempat kepercayaan masyarakat yang sangat tinggi dalam hal pendidikan keagamaannya. Pesantren, bagi mereka, adalah tempat satu-satunya yang dipandang mampu mencetak kader santri unggulan dalam hal mengajarkan bidang ilmu keagamaan. Makanya, sangat disayangkan apabila citra pesantren dinodai, yang kecewa tidak hanya satu dua orang, melainkan seluruh masyarakat merasa kecewa, karena pesantren adalah milik masyarakat dan untuk masyarakat.
Inilah mungkin yang membedai antara pendidikan di pesantren dengan pendidikan di luar pesantren. Kalau pendidikan di dalam pesantren, materi tidak hanya sebatas diajarkan di bangku pelajaran, melainkan dalam prakteknya terus dikembangkan dalam wujud aktualisasi oleh guru atau pengurus pesantren di hadapan para santri atau murid yang mengenyam pendidikan di pesantren. Santri senior (yang sudah diangkat menjadi guru) diharapkan bisa mengayomi santri junior dengan baik, berlaku sopan setiap kali bertemu, sebab ia menjadi cerminan para santri junior. Sebabnya, guru adalah cerminan dalam menciptakan etika seluruh santri dalam aktifitasnya sehari-hari. Sebaliknya, tindakan seorang guru atau pun pengurus yang sama sekali tidak mencerminkan sebagaimana halnya etika yang baik, maka jangan salahkan apabila junioritas tersebut berlaku aneh-aneh yang sama sekali tidak sesuai dengan yang diharapan. Sebab kata pepatah mengatakan, buah itu jatuh tidaklah jauh dari pohonnya. Maka, para guru terlebih dahulu menyangsikan dirinya, barangkali dirinya lah selama ini secara tidak langsung telah mengajarkan tingkah laku yang kurang baik terhadap para muridnya.
Menurut Moh. Nihwan, M.Pd., sebagai seorang guru, hendaknya mencerminkan perilaku yang sopan, baik dan berbobot, sebab menurutnya ia mendapatkan tempat yang dalam kesehari-hariannya tersebut tidaklah lepas dari perhatian para murid. Lebih lanjut beliau mengatakan, “guru adalah menjadi cerminan murid mulai dari ujung rambut sampai ujung kuku kaki”. Artinya, guru harus ekstra hati-hati dalam hal bertingkah laku. Oleh karena itu, bagi mereka yang sudah mendapat kepercayaan pengasuh di pesantren, misalnya, atau mereka yang mendapat kepercayaan sebagai pendidik, jangan bangga dulu terhadap posisi tersebut. Sebab hal itu adalah menjadi tontonan publik dalam hal menciptakan moral murid yang baik. Maka, sebagai representasi bagi para murid, seharusnya sebagai seorang guru tidak memperkenalkan tingkah laku yang aneh-aneh di muka umum, termasuk salah satunya adalah di hadapan para murid, meskipun secara personal ia mengakui kalau dirinya juga sering lalai dalam hal melakukan tindakan yang baik tersebut, misalnya sebelum makan lupa membaca basmalah dan lain-lain; karena lupa adalah merupakan sifat alamiah yang dimiliki oleh setiap manusia; termasuk para guru dan murid.
Tulisan ini ditulis tidak hendak untuk mendiskreditkan individu-individu atau kelompok-kelompok tertentu, sebenarnya tulisan ini ditulis pada dasarnya adalah untuk mengingatkan diri saya pribadi untuk tidak selalu membanggakan diri dengan mengisi hari-hari saya dengan tindakan yang amoral, sementara di luar sana ada orang lain yang mengintip dengan tidak sengaja diri saya pribadi telah ditiru oleh orang lain dalam hal tindakan amoral itu. Selain dari pada itu, tulisan ini juga tidak hendak melemahkan mereka yang telah dipercaya sebagai pribadi yang mampu menjadi pendidik, terlepas dari semua itu paling tidak dijadikan pertimbangan serta koreksi untuk menciptakan diri kita semakin baik menuju hari-hari berikutnya. Lebih lanjut, tidak hanya untuk para guru saja untuk melakukan kebaikan dengan menghiasi kesehariannya dengan etika, tanpa selalu menunggu komando, sebagai seorang murid, diharapkan menjadi koreksi untuk senantiasa memperhatikan akhlaqul karimah ini semampu mungkin, dan bisa saling mengingatkan terhadap yang lainnya, yang kedapatan melakukan perkara mungkar tersebut.
Atas perintah yang ini bukan lah hal baru, dari era audien historis, masa Rasulullah Saw dan para sahabat nabi berlanjut sampai era muslim pertengahan kemudian era masa kini, secara berkelanjutan dengan istiqomah mengamalkan tradisi yang dipertontonkan oleh panutan umat, Rasulullah Saw. Beliau dalam sebuah hadisnya menegaskan, “Innama buitstu liutammima makarimal akhlaq”. Tradisi yang demikian ini tetap dilestarikan di pesantren untuk kemudian ditransmisikan kepada kader santri. Pesantren yang posisinya menjadi kepercayaan masyarakat sebagai pilihan yang tepat dalam transformasi ilmu yang baik (hasanah), termasuk dalam hal ini adalah akhlaq, maka pesantren dituntut untuk mengamini kepercayaan masyarakat dengan terus menjaga nama baik pesantren dengan tidak mensusupinya dengan citra negatif seperti tidak dikotori dari stigma yang kurang baik, termasuk dalam hal ini adalah pendidikan amoral. Terus bagaimana cara merawat tradisi akhklaq tersebut agar tidak dicederai oleh stigma seperti yang dituturkan tadi, atas hal ini adalah memperbaiki dengan memberikan pendidikan yang dapat mengantarkan santri pada suatu yang baik, termasuk salah satunya adalah pendidikan moral. Pendidikan moral tidak cukup dengan sebatas materi seperti yang diajarkan di dalam kelas saja, melainkan harus berbentuk praksis (implementatif), sehingga tercipta iklim lingkungan yang religius dan berkarakter. Kalau semua itu di atas dapat dipraktekan secara baik oleh santri senior, maka tidak ada tidak mungkin untuk menyemaikan embrio santri yang berkarakter, religius, ta’at serta patuh kepada Allah Swt, kepada orang tua, guru dan sesamanya, dalam hal melakukan kebaikan. Untuk itu, ibda’ binafsik, mulailah dari diri kita terlebih dahulu dalam melaksanakan kebaikan untuk kemudian ditransformasikan oleh juniortas. Jangan sampai ciptakan iklim lingkungan yang kurang baik dengan memberikan contoh perilaku amoral yang tidak seharusnya dipertontonkan terhadap santri junior kita. Wallahu a’lam bishawab.
*) Ashimuddin Musa, akrab disapa Gus Mus.


[1] Istilah pengurus biasanya disandingkan kepada para ustadz atau guru yang masih tercatat aktif di pesantren, karena mereka berbaur langsung dengan para santri dalam kehidupan sehari-hari; berbeda halnya dengan keumuman guru yang mentransmisikan keilmuannya hanya sebatas di dalam kelas, bangku belajar atau di meja kampus perkuliyahan, yang berbeda dengan pengurus yang dalam metode mengajarkan keilmuannya dalam bentuk praktis.