KRISIS FIGUR
“Figur merupakan sosok terpenting dalam kehidupan sehari-hari. Posisinya
sebagai figur, paling tidak, ia menjadi cerminan dalam berproses menjalani
kehidupan menjadi semakin baik”.
Kalimat singkat, padat, sarat kritik muncul dari salah satu peserta
anggota rapat, yang menyadari akan eksistensi figur dalam kehidupan mereka.
Usulan yang muncul dari peserta rapat merupakan respon atas kegelisahannya yang
akhir-akhir ini mulai dirasa hampir punah—untuk tidak mengatakan nyaris sama
sekali tidak ada. Sebagai implikasinya, kamar yang pernah mendapatkan pengakuan
sebagai kamar terbaik, kini mulai kehilangan jati dirinya sebagai kamar representatif
(unggulan), dan penduduk kamar yang terkenal aktif dan ramah, lingkungan yang
damai dan struktur kepengurusannya yang baik, agenda kamar yang rutin, tertib
dalam menta’ati aturan, yang sedari dulu amaliyah hasanah ini oleh
penduduk kamar dilestarikan, akhir-akhir ini mulai luntur. Hal itu, menurut
mereka, disebabkan tiadanya seorang figur yang bisa mencerminkan dirinya
sebagai teladan hidup.
Atas dasar beberapa kasus di atas, mereka (penduduk kamar) menjadi
berani melakukan tindakan amoral, dengan melakuakan sebuah tindakan yang sama
sekali kurang bermanfaat. Mereka tidak lagi menta’ati aturan yang ada. Mereka
menganggap bahwa aturan tersebut telah ternodai. Lebih dari itu, aturan tidak
lagi mengikat sebab tidak ada lagi figur, sebaliknya mereka menilai bahwa semua
ini sama: tidak ada lagi senioritas yang bisa didengar ucapannya, nasihatnya
meskipun itu baik, selain itu mereka menilai bahwa hanyalah keburukan yang ada
pada diri senioritas, yang tidak lagi patut untuk diteladani.
Sejujurnya, tidak seorang pun di antara sekian senioritas yang
dirinya telah merasa paling benar. Selanjutnya, secara jujur, tidak mungkin
ada—meskipun ini benar kenyataannya—dari sekian santri senior mau dirinya
dijadikan figur, sebab dirinya merasa kurang pantas untuk di posisi seperti
itu. Secara personal, mereka memiliki keinginan yang tidak jauh berbeda dengan
santri junior, yaitu sama-sama ingin belajar memperbaiki diri, terlepas dari
beban moral yang selama ini telah disandingkan pada diri mereka (senioritas).
Tetapi karena hal itu merupakan beban moral mereka, karena mereka merasa bahwa
selama ini telah dibesarkan dan dididik di pesantren tempat menuntut ilmu,
meskipun dengan berat hati dan diliputi perasaan waswas, maka dicobanya untuk
menjalankan tanggung jawab tersebut.
Keudian muncul pertanyaan, pantaskah kita menjadikan dia sebagai
pemimpin sementara dia pernah mengalami masa kelam?
Menurut penulis, itu wajar-wajar saja. Sifat salah pasti dimiliki
oleh setiap manusia. Sebab, kesalahan adalah sifat manusiawi yang pasti
dimiliki oleh setiap manusia. Para utusan sekalipun pernah melakukan kesalahan.
Misalnya Nabi Adam As, yang merupakan bapak dari semua manusia, pernah berbuat
salah. Hingga pada akhirnya beliau diusir oleh Allah dari Surga ke Bumi. Nabi
Ibrahim As yang diklaim sebagai bapak dari tiga agama (Yahudi, Nasrani dan Islam),
pernah ditegur oleh Allah karena pada suatu ketika beliau telah tidak memberikan
jamuan terhadap orang yang tidak mau mengikuti ajarannya. Tidak lama Allah
mengirimkan wahyu kepadanya, “Wahai Ibrahim, orang ini berpuluh-puluh tahun dia
kufur kepada saya, tetapi dia tidak pernah saya putuskan rizkupun sehari saja,
baru kali ini saya wakilkan rizkinya melalui engkau sementara engkau mengajukan
syarat ini dan itu”. Beliau ditegur karena telah membiarkan dia (non-muslim)
kelaparan, sementara Allah sendiri memberikan dia makan dan tidak pernah
memutuskan rezekinya sehari pun: sebab tidak semua orang yang berbuat
kejelekan selamanya akan melakukan kejelekan. Pasti pada diri mereka itu ada
pula nilai-nilai kebaikannya. Barangkalai juga manusia sekelas santri
senior?.
Kisah selanjutnya, ada orang perempuan yang pernah berbuat zina
datang kepada Nabi Muhammad Saw memohon agar Nabi menegakkan hukum Allah Swt
padanya. Terus apa kata Nabi, “kamu hamil, tunggu sampai kehamilanmu selesai”.
Setelah si perempuan itu melahirkan dan mendatangi Nabi yang ke dua kalinya,
Nabi menahannya lagi sampai ia menyusui bayi tersebut sampai dua tahun. Setelah
selesai menyusui, maka dijalankanlah hukuman baginya. Kemudian ada salah seorang
mencelanya dengan ucapan yang sama sekali tidak mencerminkan ucapan (akhlaq) yang
baik, lalu Nabi marah dan menegurnya, “Tau apa engkau. Saat ini dia sedang
berenang di sungai, Surganya Allah. Siapa gerangan yang lebih hebat dari dia,
yang menyerahkan nyawanya untuk menjalankan aturan dan hukuman dari Allah Swt”.
Nabi Saw tetap melarang untuk mencaci terhadap orang yang berbuat maksiat,
mungkin dia telah bertaubat kepada Allah Swt.
Larangan mencaci maki sebetulnya sangat dilarang di dalam Alquran
maupun di dalam Hadis. Selanjutnya, bagaimana dengan kita yang posisinya
sebagai santri terhadap senioritas, yang menurut persepsi kita, bahwa mereka
telah pernah berbuat salah? Apakah mereka tetap menilai bahwa selamanya ada
nilai-nilai keburukan dan sama sekali tidak ada nilai kebaikan pada diri
mereka? Tunggu dulu.
Di kisah yang lain, Nabi juga melarang mencela seseorang yang
ayahnya terus-menerus berbuat kejahatan. Sementara putranya akan datang dalam
keadaan Islam. Nabi melarang umat Islam mencela dengan menyebut-nyebut
keburukan ayahnya, “jangan kalian mencaci maki orang-orang musyrikin yang sudah
meninggal dunia, sebab orang-orang yang masih hidup akan merasa terganggu jika
para leluhur mereka dicaci maki”. Agama Islam tidak dibela dengan cacian. Agama
Islam tidak dibela dengan makian. Agama Islam akan jaya apabila dibela dengan
rahmat dan kasih sayang, kegigihan dan kesungguhan dalam menjalankan dakwah dan
agama yang dibawakan oleh Rasulullah Saw.
Selanjutnya, Nabi Muhammad Saw dalam mensyi’arkan agama Tuhan,
beliau tidaklah lepas dari sasaran makian dan cacian umatya. Dalam catatan sejarahnya
sering diceritakan, bahwa Nabi ketika dibuli oleh umatnya, beliau tidak marah,
jauh dari itu beliau mendoakan agar umatnya tersebut diberikan kesadaran
melalui hidayah Allah. Meskipun begitu, Nabi tidak mendoakan mereka—umat yang
memusuhi Nabi—dengan doa yang jelek-jelek. Lain dari pada itu Nabi malah
menyadari atas sikap kasar mereka. Sebab, bagi Nabi, tidak melulu pada diri
umatnya ada nilai kejahatan, suatu saat mereka akan sadar setelah mendapatkan
rahmat dari Tuhan, tentunya melalui hidayah tersebut. Dengan sikap lemah lembut
dan kasih sayang Nabi itulah, kaum kafir Quraisy lambat laun memeluk Islam.
Sementara itu, tidak sedikit dari kalangan non-muslim di Barat
(orientalis) meneliti kisah Nabi, hayatu Muhammad Saw, banyak dari
kalangan mereka menyimpulkan bahwa Nabi adalah sosok ideal yang ramah, jujur
dan bersahabat dengan siapapun, meskipun dengan kelompok di luar komunitas
muslim itu sendiri. Apalagi dengan kelompok muslim?. Nabi Saw juga pernah
berpesan, “Mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaqnya,” (HR. Abu Daud dan Ahmad). Dalam hadis lain, “Orang yang paling baik
Islamnya adalah yang paling baik akhlaqnya,” (HR. Ahmad). Dengan demikian, kita
harus pandai mencerminkan prilaku Nabi yang baik ini, tentunya dengan
mengimplementasikan akhlaq yang baik dalam bingkai kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, jelas bahwa mengaktualisasikan akhlah dalam
bingkai kehidupan kita sehari-hari, adalah merupakan bukti dari penghambaan dan
ketundukan kita kepada Allah, serta kepatuhan kita dalam mencerminkan akhlaq
Nabi Muhammad Saw.
Nabi Saw juga berpesan agar kita senantiasa tidak jauh dari para
ulama. Sebab ulama adalah sosok panutan yang memiliki visi-misi melanjutkan misi
(risalah) yang pernah didakwahkan Nabi. Terkait term ulama, Syekh Muhammad
Nawawi bin Imam al-Jawi dalam kitabnya, nashaih al-‘ibat, mengklasfikasikan
ulama ke dalam tiga bagian, Pertama, orang yang menekuni hukum-hukum
Allah Swt. Seperti pemberi fatwa. Kedua, orang yang mengetahui terhadap
dzat Tuhan. Orang itu dinamakan ahli hikmah. Dalam interaksinya dengan sesama,
mereka ini (ahli hikmah) selalu dihiasi dengan akhlaq, sebab di dalam hatinya
telah terpancar sinar (nur) keagungan Tuhan Swt dan hatinya merasakan
kehadiran Tuhan. Ketiga, orang yang sangat agung. Di antara ketiganya
tersebut, predikat ini mungkin saja telah ditempuh oleh teman-teman di antara
kita, baik kakak senioritas kita yang menggauli kita, guru-guru kita yang tiada
hari dan waktu setia membimbing kita, atau barang kali diri kita sendiri
orangnya. Tidak ada orang yang mengetahui itu, wallahu a’lam.
Tingkatkanlah sesuatu yang bermanfaat, dan tinggalkanlah sesuatu
yang kurang bermanfaat. Ingat, menunjukkan sikap angkuh adalah merupakan
kesalahan besar. Nabi menegaskan, bahwa akan datang suatu masa di mana
orang-orang akan lari dari ulama—seperti tidak menta’ati titahnya yang baik.
Atas orang yang demikian ini, akan ditimpakan balasan yang sangat pedih (Syekh
Muhammad Nawawi bin Imam al-Jawi, ttp: 6).