Tuesday, March 27, 2018

Mendialogkan Kembali Pesan Simbolik Isra Mi’raj


Mendialogkan Kembali Pesan Simbolik Isra Mi’raj

Judul buku : Rihlah Semesta Bersama Jibril As; Menguak Perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad Saw dari Aspek: Hikmah, Nilai Filosofis, Pesan Simbolos, Sufistik dan Saintifik
Penulis : Muhammad Atid dkk.
Penerbit : Lirboyo Press, Kediri
Cetakan : Kedua, September 2017
Tebal : XXVIII+444 halaman
Isra’ mi’raj dalam Islam sebagai hari bersejarah, dan karena itu ia terus diperingati sebagai hari besar Islam. Di Indonesia, setiap tanggal 27 rajab, ditetapkan sebagai hari resmi memperingati perjalanan isra mi’raj Nabi Saw yang terjadi 15 abad yang lalu. Meskipun begitu, berkaitan dengan waktu kapan terjadinya isra mi’raj, masih menimbulkan polemik di internal para ulama. Tidak ada yang bisa memastikan kapan hari, tanggal dan waktu terjadinya. Ibnu Hajar Al-Asqalani saja menampilkan, sedikitnya ada sekitar kurang lebih 10 pendapat mengenai penetapan perjalanan Nabi ini, tetapi beliau tidak sampai pada mengunggulkan pendapat salah satunya, melainkan hanya mengambil benang mirah dari beragam pendapat tersebut, bahwa (1) perjalan Nabi ini terjadi setelah terutusnya Nabi Saw menjadi Rasul; (2) setelah wafatnya Sitti Khatijah, istri pertama Nabi; (3) sebelum peristiwa hijrah.(h: 202-206)
Meskipun tidak dijumpai kata mufakat dalam menetapkan kapan terjadinya rihlah semesta Nabi Saw ini, bukan berarti memperingati peristiwa bersejarah ini tidak penting. Isra dan mi’raj Nabi, sebagai mana sebut Muhammad Atid dkk.(penulis buku ini), bukanlah peristiwa nonsens atau peristiwa tanpa makna. Peristiwa ini terjadi bukan tidak membawa pesan apapun atau hanya sekedar untuk menjemput perintah Allah Swt, yaitu perintah shalat lima waktu, perjalanan Nabi ini memiliki seleksa rahasia, pesan-pesan dan isyarat-isyarat yang sangat berharga.
Buku “Rihlah Semista Bersama Jibril As Menguak perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad Saw” ingin menghadirkan kembali nilai-nilai simbolis yang sarat hikmah untuk mengisi kekosongan sejarah di tengah-tengah dialog umat Islam. Banyak kejadian menakjubkan dan mengerikan yang dipertontonkan kepada Nabi pada saat peristiwa isra mi’raj. Seluruh kejadian itu menjadi simbol perilaku dan kehidupan seluruh manusia di muka bumi. Karenanya, buku ini sangat menarik untuk direnungi, diselami sekaligus dihayati berbagai pengalaman yang diraih Nabi Muhammad Saw dalam peristiwa isra mi’raj.
Selain itu, buku ini mengangkat sisi lain dari peristiwa isra mi’raj. Di dalamnya tidak hanya menceritakan bagaimana peristiwa unik terjadi, melainkan diulas pula nilai-nilai filosofis, pesan simbolis, sufistik sampai dengan kajian sains. Inilah kemudian, hemat kami, sisi lain yang membedai dari buku-buku yang lain yang pada saat bersamaan mengangkat kajian pada tema yang sama, yaitu isra mi’raj. Buku ini menghimpun kisah-kisah mulai dari awal dialog Nabi dengan Jibril, perjumpaan Nabi dengan para Nabi, Malaikat hingga akhirnya potret dialog Nabi dengan Tuhannya.
Di antara beberapa buku ketika membahas perihal isra mi’raj, biasanya yang diperselisihkan berputar pada permasalahan rihlah jasmaniyah dan rahaniyah. Apakah yang diisrakan adalah jasad Nabi atau rohnya saja. Ada lagi yang melalui sisi sebab-sebab terjadinya isra. Sementara itu, ada pula yang mengoraikan dari sisi sosiologis, bagaimana respon masyarakat Quraisy saat itu ketika mendengar kabar bahwa Nabi telah diisrakan. Dalam buku ini, selain juga menceritakan hal yang sama seperti yang terdapat dalam kajian buku-buku lain, lebih dari itu buku ini banyak memberikan jawaban atas sejumlah pertanyaan penting seputar isra mi’raj, dan mencoba mengajak dengan begitu detail serta mendalami kisah perjalanan sakral yang ditempuh Nabi Saw. Semisal, perbincangan perihal, apakah pengalaman isra mi’raj Nabi secara fisikal-rohani atau nonfisikal-rohani, maka buku ini berusaha menjawabnya pertanyaan-pertanyaan itu. Degan begitu, gugatan orang-orang yang tidak mempercayai bahwa Nabi pernah isra dengan alasan kurang rasional, maka buku ini mencoba menjawab segala tuduhan itu dengan detil.
Buku sangat menarik karena potensi sang penulisnya mendalami kitab-kitab klasik—mengutip bahasa KH. Abd. A’la—tidak tertidur lelap dalam tumpukan kitab turats tersebut. Dengan penguasaan penuh terhadap kitab-kitab klasik (turats) yang merupakan warisan para ulama-ulama terdahulu, menjadikan kajian buku ini sangatlah menarik. Selain itu, penulis ingin mengajak kita mendialogkan kembali tema-tema bersejarah ini, bahwa hari besar Islam (isra’ mi’raj) tidak hanya sebatas seremonial yang hanya diperingati pada hari-hari tertentu saja, melainkan secara terus-menerus dihayati, bahwa dengan isra’-nya Nabi Saw inilah hingga kemudian beliau memperoleh kado spesial dari Allah Swt, yaitu shalat lima waktu.
Peristiwa atau perjalanan (rihlan) Nabi menghadap Hadirat Allah Swt, ini merupakan kajadian yang luar biasa, yang belum dialami oleh Nabi-Nabi sebelumnya. Bahkan, Malaikat pun belum pernah mengalami hal semacam itu. Nabi Muhammad memperoleh spesialisasi untuk bisa berjumpa langsung dengan Tuhannya, sementara para Nabi sebelum beliau tidak pernah mengalami hal serupa seperti Nabi. Malaikat, yang diciptakan dari cahaya, tidak kuasa berjumpa Tuhannya. Seperti dialog Nabi Muhammad Saw dengan Malaikat Jibril yang tidak berani menemani Nabi Muhammad menuju Tuhan. Jika Malaikat Jibril sampai memaksa melangkah maju seujung jari saja dari kawasan terlarang, maka Jibril As akan hangus terbakar oleh cahaya-cahaya Ilahi. (h: 123)