Mendialogkan Kembali Pesan Simbolik Isra Mi’raj
Judul buku : Rihlah
Semesta Bersama Jibril As; Menguak Perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad Saw
dari Aspek: Hikmah, Nilai Filosofis, Pesan Simbolos, Sufistik dan Saintifik
Penulis :
Muhammad Atid dkk.
Penerbit :
Lirboyo Press, Kediri
Cetakan :
Kedua, September 2017
Tebal :
XXVIII+444 halaman
Isra’ mi’raj dalam Islam sebagai hari bersejarah, dan karena itu ia
terus diperingati sebagai hari besar Islam. Di Indonesia, setiap tanggal 27
rajab, ditetapkan sebagai hari resmi memperingati perjalanan isra mi’raj Nabi
Saw yang terjadi 15 abad yang lalu. Meskipun begitu, berkaitan dengan waktu
kapan terjadinya isra mi’raj, masih menimbulkan polemik di internal para ulama.
Tidak ada yang bisa memastikan kapan hari, tanggal dan waktu terjadinya. Ibnu
Hajar Al-Asqalani saja menampilkan, sedikitnya ada sekitar kurang lebih 10
pendapat mengenai penetapan perjalanan Nabi ini, tetapi beliau tidak sampai
pada mengunggulkan pendapat salah satunya, melainkan hanya mengambil benang
mirah dari beragam pendapat tersebut, bahwa (1) perjalan Nabi ini terjadi setelah
terutusnya Nabi Saw menjadi Rasul; (2) setelah wafatnya Sitti Khatijah, istri pertama
Nabi; (3) sebelum peristiwa hijrah.(h: 202-206)
Meskipun tidak dijumpai kata mufakat dalam menetapkan kapan
terjadinya rihlah semesta Nabi Saw ini, bukan berarti memperingati
peristiwa bersejarah ini tidak penting. Isra dan mi’raj Nabi, sebagai mana
sebut Muhammad Atid dkk.(penulis buku ini), bukanlah peristiwa nonsens atau
peristiwa tanpa makna. Peristiwa ini terjadi bukan tidak membawa pesan apapun
atau hanya sekedar untuk menjemput perintah Allah Swt, yaitu perintah shalat
lima waktu, perjalanan Nabi ini memiliki seleksa rahasia, pesan-pesan dan isyarat-isyarat
yang sangat berharga.
Buku “Rihlah Semista Bersama Jibril As Menguak perjalanan Isra
Mi’raj Nabi Muhammad Saw” ingin menghadirkan kembali nilai-nilai simbolis yang
sarat hikmah untuk mengisi kekosongan sejarah di tengah-tengah dialog umat
Islam. Banyak kejadian menakjubkan dan mengerikan yang dipertontonkan kepada
Nabi pada saat peristiwa isra mi’raj. Seluruh kejadian itu menjadi simbol
perilaku dan kehidupan seluruh manusia di muka bumi. Karenanya, buku ini sangat
menarik untuk direnungi, diselami sekaligus dihayati berbagai pengalaman yang
diraih Nabi Muhammad Saw dalam peristiwa isra mi’raj.
Selain itu, buku ini mengangkat sisi lain dari peristiwa isra
mi’raj. Di dalamnya tidak hanya menceritakan bagaimana peristiwa unik terjadi,
melainkan diulas pula nilai-nilai filosofis, pesan simbolis, sufistik sampai
dengan kajian sains. Inilah kemudian, hemat kami, sisi lain yang membedai dari
buku-buku yang lain yang pada saat bersamaan mengangkat kajian pada tema yang
sama, yaitu isra mi’raj. Buku ini menghimpun kisah-kisah mulai dari awal dialog
Nabi dengan Jibril, perjumpaan Nabi dengan para Nabi, Malaikat hingga akhirnya
potret dialog Nabi dengan Tuhannya.
Di antara beberapa buku ketika membahas perihal isra mi’raj,
biasanya yang diperselisihkan berputar pada permasalahan rihlah jasmaniyah
dan rahaniyah. Apakah yang diisrakan adalah jasad Nabi atau rohnya saja. Ada
lagi yang melalui sisi sebab-sebab terjadinya isra. Sementara itu, ada pula
yang mengoraikan dari sisi sosiologis, bagaimana respon masyarakat Quraisy saat
itu ketika mendengar kabar bahwa Nabi telah diisrakan. Dalam buku ini, selain
juga menceritakan hal yang sama seperti yang terdapat dalam kajian buku-buku lain,
lebih dari itu buku ini banyak memberikan jawaban atas sejumlah pertanyaan
penting seputar isra mi’raj, dan mencoba mengajak dengan begitu detail serta
mendalami kisah perjalanan sakral yang ditempuh Nabi Saw. Semisal, perbincangan
perihal, apakah pengalaman isra mi’raj Nabi secara fisikal-rohani atau
nonfisikal-rohani, maka buku ini berusaha menjawabnya pertanyaan-pertanyaan
itu. Degan begitu, gugatan orang-orang yang tidak mempercayai bahwa Nabi pernah
isra dengan alasan kurang rasional, maka buku ini mencoba menjawab segala
tuduhan itu dengan detil.
Buku sangat menarik karena potensi sang
penulisnya mendalami kitab-kitab klasik—mengutip bahasa KH. Abd. A’la—tidak
tertidur lelap dalam tumpukan kitab turats tersebut. Dengan penguasaan
penuh terhadap kitab-kitab klasik (turats) yang merupakan warisan para
ulama-ulama terdahulu, menjadikan kajian buku ini sangatlah menarik. Selain
itu, penulis ingin mengajak kita mendialogkan kembali tema-tema bersejarah ini,
bahwa hari besar Islam (isra’ mi’raj) tidak hanya sebatas seremonial
yang hanya diperingati pada hari-hari tertentu saja, melainkan secara
terus-menerus dihayati, bahwa dengan isra’-nya Nabi Saw inilah hingga
kemudian beliau memperoleh kado spesial dari Allah Swt, yaitu shalat lima
waktu.
Peristiwa atau perjalanan (rihlan) Nabi
menghadap Hadirat Allah Swt, ini merupakan kajadian yang luar biasa, yang belum
dialami oleh Nabi-Nabi sebelumnya. Bahkan, Malaikat pun belum pernah mengalami
hal semacam itu. Nabi Muhammad memperoleh spesialisasi untuk bisa berjumpa
langsung dengan Tuhannya, sementara para Nabi sebelum beliau tidak pernah
mengalami hal serupa seperti Nabi. Malaikat, yang diciptakan dari cahaya, tidak
kuasa berjumpa Tuhannya. Seperti dialog Nabi Muhammad Saw dengan Malaikat
Jibril yang tidak berani menemani Nabi Muhammad menuju Tuhan. Jika Malaikat Jibril sampai memaksa melangkah maju seujung jari
saja dari kawasan terlarang, maka Jibril As akan hangus terbakar oleh
cahaya-cahaya Ilahi. (h: 123)