Tuesday, September 24, 2019

Jadikan Buku Sebagai Kawan Kita


Buku bagian tak terpisahkan. Umumnya, buku seringkali dianaktirikan. Bagi kebanyakan orang, membaca buku adalah menjenuhkan. Tetapi tidak demikian bagi saya, buku memberikan spirit dan memerdekakan.

Banyak orang yang meresa merdeka padahal dirinya sedang dijajah. Karena belum merdeka maka ruang gerak mereka tetap sempit. Bukan dijajah dalam kontek negara, tapi yang menjajah mereka adalah kebodohan.

Banyak orang selalu merasa resah, menganggap orang lain salah sementara dirinya merasa benar. Perang saudara selalu hidup. Mereka tidak maju-maju seperti negara lain yang tiap hari memikirkan kemajuan, dengan menyusun teori kemudian mereka kembangkan menjadi ilmu pengetahuan, lalu mereka sumbangkan kepada dunia. Sementara kita sebagai konsumen. Disebabkan cara berfikir kita yang selalu dipersempit oleh kebodohan itu kita bukan memikirkan bagaimana cara kita berubah, tetapi dengan apa mereka bisa kalah.

Orang yang kesehari-hariannya selalu bersama buku maka dia tidak mudah menjadikan siapapun di sekitarnya serba musuh, yang tentu serba salah. Dengan cinta, mereka akan berfikir bahwa persatuan adalah bagian dari norma dan spirit agama. 


Buku itu harus jelas gurunya. Oleh karena guru sangat penting tidak hanya transfer knowledge, tapi akhlak.

Ayo gabung dengan kami bedah buku.


(*)

Tuesday, September 17, 2019

Resensi Radar Sampit: Mendidik Anak Harus Dengan Cinta



Mendidik Anak Harus Dengan Cinta

Judul Buku: Mendidik Dengan Cinta
Penulis: Evi Ghozali
Penerbit: Prenamedia Group

"Mendidik Dengan Cinta" adalah tema yang sangat pas yang diangkat buku ini. Sebab pendidikan berbasis cinta relatif jarang ditemukan, baik di sekolah maupun dalam keluarga. Orang tua, dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih, kini menjadi super sibuk dengan smartphone daripada memperdulikan anak-anaknya. Lebih parah lagi, orang tua lebih terkesan suka memaksakan kehendaknya kepada anak-anaknya agar mereka dapat melakukan seperti yang diinginkan orang tua, tanpa perhatian cinta sedikitpun.

Melalui buku ini, penulis akan berbagi informasi tentang model pendidikan yang baik terkait keluhan para orang tua atau guru yang merasa dirinya telah kehabisan ide dan strategi dalam mendidik anak-anaknya agar mereka kelak menjadi anak yang baik, berbakti dan menyayangi kedua orang tua, pendidikan yang dimaksudkan yaitu mendidik dengan cinta. Banyak orang tua atau guru di sekolah yang salah kaprah dalam mendidik siswa-siswinya. Sehingga, siswa-siswi merasa cepat bosan, yang pada gilirannya pendidikan tidak berjalan sesuai rencana dan harapan bersama.

Jika pendidikan hanya mengajarkan kecerdasan intelektual (ta'lim) dan mengesampingkan pendidikan yang esensial yaitu emansipatoris (tarbiyah) yang membebaskan dan memanusiakan manusia  maka kemungkinannya pendidikan yang seharusnya menomorsatukan karakter dan moralitas luhur malah menghasilkan produk gagal.

Sebab, apa bila pendidikan yang diimbangi dengan ilmu akhlak besar harapan akan mudah membina anak-anak yang memiliki, tidak hanya sekil, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan yang beguna bagi bangsa dan negara.

Orang tua seharusnya mampu, tidak hanya menyuruh, tetapi juga menjadi cerminan yang baik di dalam keluarganya. Kebanyakan orang tua telah bermaksud ingin berbuat baik seperti menasihati dan mendidik dengan terlalu keras, namun kemudian ditanggapi oleh anak sebagai sebuah kejahatan.

Hal tersebut diperparah dengan ketidakefektifan komunikasi dalam keluarga. Kecanggihan teknologi dan perkembangan zaman menyebabkan komunikasi dalam keluarga makin berkurang. Kurangnya komunikasi serta bentuk perhatian yang salah dari orang tuanya sehingga timbul sikap melawan dan memberontak (hlm. 54).

Evi sendiri membenarkan bahwa tidak ada orang tua manapun yang berkeinginan menjerumuskan putra-putrinya kepada kejahatan. Para orang tua berupaya mendidik anak-anak agar menjadi manusia yang saleh, berbakti kepada kedua orangtuanya, agama dan negara. Tetapi orang tua terkadang terkesan suka memaksakan sementara pendidikan cinta mereka belum sepenuhnya diimplementasikan.

Perlu diketahui bahwa, cinta sejatinya mampu memberikan peristiwa-peristiwa besar. Seseorang yang sedang diliputi cinta biasanya mampu untuk berkorban demi yang dicintainya. Namun dalam perkembangan jiwa seseorang, seringkali cinta itu disusupi oleh banyak keinginan egoisme yang justru menyebabkan cinta menjadi redup, dikalahkan oleh kepentingan dan ambisi pribadi yang bertentangan dengan cinta itu sendiri.

Menurut Evi, para orang tua perlu belajar memahami dan merawat cinta itu agar terjaga ketulusannya. Orang tua hebat mereka yang mampu mengimbangi antara kesibukannya dari pekerjaannya dan kepeduliannya terhadap keluarganya, dalam hal ini anak-anaknya. Ketika orang tua telah membangun komunikasi yang baik dengan anak-anaknya, kemungkinan besar mereka merasa nyaman dan diperhatikan dengan cinta, sehingga anak-anak tidak akan merasa bosan terhadap kedua orang tuanya.

Sementara itu, ketika pendidikan cinta telah redup, maka kemungkinannya anak perlahan mulai mencari perhatian dari pihak lain. Ini bisa menjadi awal mula masalah apabila anak keliru mencari perhatian dari orang lain selain orang tuanya (hlm. 47-49).

Pada saat yang sama, karena orang tua tidak bisa mengawasi anak selama 24 jam nonstop, maka membaca buku ini penting, karena di dalamnya memberikan solusi bagaimana cara mendidik anak yang baik yang berbasis cinta tersebut. Seperti apakah solusinya itu? Anda akan menemukannya setelah membaca buku ini. (*)