Sunday, June 30, 2019

BENARKAH WALISONGO KETURUNAN MUSLIM CHINA

Buku: Cheng Ho: Penyebar Islam dari China ke Nusantara

Topik tentang adanya arus China dalam Islamisasi Nusantara menimbulkan ketertarikan sebagian sejarawan akan tokoh yang bernama Cheng Ho.
Buku Tan Ta Sen.
Buku ini menggambarkan dengan baik bagaimana peran tokoh ini dalam proses penyebaran  agama Islam di Nusantara.

Islam yang berkembang di Nusantara menurut catatan sejarawan sekitar abad ke-12 dan 16 M. Sejak saat itu Islam sudah mulai terlihat di Nusantara dibuktikan oleh banyaknya muslim China yang tinggal di wilayah tersebut. Saat itu, Islam tidak berkembang secara masif dan signifikan. Sekitar abad ke-15 dan 16 -sebagaimana kesimpulan Sumarto Al-Qurtubi, "Arus China-Islam-Jawa: Peran Tionghoa dalam Penyebaran Islam di Nusantara Abad 15 & 16"- menjadi babakan pertama penyebaran Islam dilakukan secara luas oleh muslim asal China.

Pengaruh adanya arus China dalam islamisasi Nusantara membuat Dr. Tan tertarik untuk melakukan penelitian. Ia mencoba menelusuri berbagai sumber, mulai dari sumber-sumber tertulis hingga penelitian lapangan. Selain itu, ia juga menggunakan  teori asal-usul China. Bukti-bukti itu menjadi semakin kuat atas pelayaran bersejarah Cheng Ho ke Barat pada awal abad ke-15. Pelayaran-pelayarannya memberikan sebuah fakta paling kuat mengenai koneksi China akan penyebaran Islam di kepulauan Melayu.

Di Indonesia sendiri, kala itu telah masuk lewat Gujarat (India) dan Timur Tengah. Tetapi, Cheng Ho membawa gelombang China masuk ke Asia Tenggara membawa arus perpindahan agama Islam yang damai.

Dr. Tan Ta Sen dalam buku ini menunjukkan dukungannya pada teori gelombang China. Dan, yang lebih menarik, menjelaskan kejanggalan Hanafi-Syafi'i dalam proses penyebaran tersebut. Sayangnya, Dr. Tan Ta Sen banyak menggunakan sumber kronik China dari Semarang dan Cirebon yang kontroversial tersebut tanpa cukup mengkritisinya.

Dugaan Tan menjadi semakin kuat ketika melihat gaya atap tiga tingkat dari beberapa masjid di Jawa. Ia diyakini menyimbolkan tiga unsur pokok Islam: Islam, Iman dan Ihsan (amal kebaikan) Menurut Dr. Tan, mendukung argumen Prof. Slamet Muljana, bahwa atap bertingkat banyak merupakan karakteristik arsitektur China dan Jawa selama beberapa abad; dan ini tidak dikenal di Timur Tengah.

Benarkah Walisongo berasal dari China? Tan menduga bahwa Walisongo adalah berasal dari China. Menurutnya, Cheng Ho bersama kalangan muslim China yang ditengarai adalah madzhab Hanafi bersama beberapa kalangan muslim asal China. Sebagian mereka adalah Walisongo. Sebuah argumen kontroversial karena berbeda dengan kesimpulan mayoritas sejarawan yang menulis bahwa madzhab Syafi'i adalah madzhab mayoritas Walisongo. Ia pada kesimpulan demikian karena mayoritas muslim China adalah penganut madzhab Hanafi hingga saat ini.

Pascakematian Cheng Ho, muslim China terbelah menjadi dua, sebagian bersikukuh tetap menjadi entitas China muslim yang eksklusif, tertutup dan lebih melihat ke dalam, dan karenanya berlanjut untuk tetap  terpisah dari arus utama masyarakat Jawa. Sebagian sepakat lebih terbuka untuk mendekati masyarakat Jawa yang lebih luas.

Akhirnya, dari China muslim yang progresif inilah kemudian berhasil membentuk sebuah kelompok yang nantinya memulai sebuah gerakan kebangkitan pembarunan agama. Mereka segera mendirikan komunitas pertama muslim berbahasa Jawa dan mempelopori gerakan Islam Jawa. Kelompok itu juga mendirikan negara Islam pertama di Jawa, yakni kesultanan Demak pada akhir abad ke-15. Banyak dari tokoh kelompok itu dianggap sebagai guru-guru sufi dan meningkatkan statusnya menjadi orang-orang suci yang disebut sembilan wali (Walisongo).

Dengan diterbitkannya buku ini, Dr. Tan telah memperkuat asumsi, dengan didasarkan pada penelitian atas bukti-bukti tertulis, mengenai adanya "arus ketiga" di wilayah ini. Selama ini kita hanya mendengarkan dua arus utama, yakni arus India atau Gujarat dan arus hubungan langsung dengan Timur Tengah melalui kontak perdagangan.

Thursday, June 27, 2019

KAMI SANTRI UNTUK INDONESIA

Data Buku: Peradaban Sarung Karya Ach. Dhofir Zuhri terbit pada 2018

Apabila melihat kejadian bahwa seorang siswa di sebuah sekolah formal berani menantang gurunya, melakukan teror, apalagi sampai membunuhnya, adalah sebuah kejadian miris yang telah melanda pendidikan. Pendidikan yang seharusnya dapat melahirkan generasi bangsa Indonesia yang memiliki kesalehan sosial dan moralitas yang luhur malah terkesan gagal mewujudkan itu.

Di sisi lain, kasus seperti di atas tentu saja bikin banyak orang resah. Pada gilirannya, masyarakat semakin bertambah bingung akan meletakkan putra-putrinya di sebuah pendidikan. Mereka -sampai derajat tertentu- membuat mispersepsi dan distorsi dengan menyatakan, kini pendidikan sudah tidak lagi mampu memberikan pendidikan karakter yang bagus. Di saat yang sama, era modern yang diwarnai dengan massifnya informasi semakin menambah kegetiran para orang tua yang tak menentu ketika melihat putra-putrinya semakin berlagak angkuh dan kasar.
Jawa Pos Radar Madura edisi Sabtu 29 Juni 2019
Kehadiran buku ini merupakan  respon untuk meluruskan pandangan keliru tersebut. Ketika hal tersebut tidak segera ditangani, orang-orang yang tidak atau -katakanlah- kurang menyukai pendidikan dikhawatirkan dapat memelintirnya sedemikian rupa. Sehingga, masyarakat tidak bisa membedakan antara pendidikan seperti pesantren dengan sekolah-sekolah formal pada umumnya semuanya dapat dipukul rata. Karena itu, kehadiran buku ini tidak sekadar menarik, tetapi juga sangat penting.

Salah satu ciri khas pendidikan pesantren yang tidak ditemukan di berbagai sekolah adalah kesederhanaan. Melalui pesantren ini, pendidikan karakter justru lebih optimal daripada (maaf) kebanyakan sekolah modern.  Dengan kesederhanaan yang diajarkan oleh kiyai mampu membentuk kedirian dan kepribadian santri dengan karakter yang baik, memiliki kesalahan sosial, dan moralitas luhur. Orang-orang yang besar selalu dibentuk dengan kesederhanaan, bukan kemewahan materi. Moralitas dan karakter sangat jarang ditemukan di sekolah-sekolah sejak gelombang modernitas memasuki setiap sendi kehidupan.

Di dalam buku ini diterangkan bahwa santri adalah seseorang yang tinggal di suatu tempat yang bernama pesantren. Istilah santri adalah adaptasi dari tradisi cantrik Hindu "shastri" dalam bahasa Sansekerta adalah orang yang mempelajari shastra (kitab suci) di pe-shastri-an atau pesantren (hlm 5). Melalui pesantren, seorang santri dapat melihat langsung sikap yang baik dari kiyai atau ustadz. Adanya figur kiyai dan ustadz  yang dapat dijadikan contoh adalah cara paling efektif untuk membentuk karakter santri. Pendidikan teoritis tidaklah cukup tanpa adanya figur hidup yang dapat dilihat langsung.

Yang menjadi persoalan terkadang masyarakat -sampai batas tertentu- memandang sinis pesantren. Pendidikan pesantren identik dengan pendidikan rendahan dan tidak bermutu. Ketika globalisasi dengan nilai-nilai neo-liberalisme yang kapitalistik yang dibawanya kian menggerus nilai-nilai dan tradisi lokal luhur yang tertanam kuat sebelumnya di tengah-tengah masyarakat Indonesia, pandangan kurang menghargai terhadap pendidikan pesantren atau kiyai kian kuat dan melebar. Bahkan, nyaris tidak mendapatkan sentuhan afirmasi atau apresiasi apapun. Padahal sejatinya, pendidikan pesantren syarat dengan sejumlah nilai-nilai moralitas luhur.

Bagi penulis, dengan menjalani kesederhanaan sebagai keseharian sesungguhnya ia adalah simulasi untuk bermasyarakat nanti. Pendidikan di pesantren pun dimulai lebih pagi dan diakhiri lebih larut malam dari pada lazimnya denyut kehidupan di masyarakat. Jadi, soal kedisiplinan dan kesabaran menjalani hidup, santri sudah cukup tangguh. Hal ini jelas sangat bertolak belakang dengan kebanyakan kalangan pelajar di luar pesantren atau mahasiswa di perguruan tinggi yang cenderung hedonis dan tidak mawas diri, ugal-ugalan dan serampangan. Padahal, kita tentu tahu bahwa mereka calon pemimpin.

Dengan demikian, pesantren adalah lembaga pendidikan alternatif yang lebih menomorsatukan pembentukan karakter dan penguatan moral (tarbiyah) daripada sekadar kecerdasan intelektual (ta'lim) yang kerap tidak emansipatoris dan memuliakan manusia. Ketika sekolah hanya mengajarkan kecerdasan teknokratis, bukan kecerdasan emansipatoris yang membebaskan dan memanusiakan manusia, justru pesantren sebaliknya. Usaha untuk tetap waras dan menjadi manusia adalah usaha rintisan pesantren yang tetap lestari hingga kini.

Buku ini terdiri dari 53 esai pilihan dalam bahasa tutur yang ringan, berbentuk esai, tidak secara akademis yang ketat dan berhamburan referensinya yang nantinya justru memberatkan untuk para pemalas. Dalam hal memanjakan pembaca, penerbit berhasil menghadirkan buku ini dengan kemasan menarik, mulai dari sampul hinggap layout isinya. Karena itu, para pemula atau orang-orang yang ingin mengenal pesantren dengan segala tradisi dan khazanahnya, dengan membaca buku ini, menjadi terbantu dengan kehadirannya.

Monday, June 24, 2019

Irwan Krisdiyanto Artis yang Peduli Pendidikan


Foto Irwan: salah satu artis DA2 asal Sumenep

Oleh: Ashimuddin Musa



Nama Irwan-Qu adalah sapaan akrab dari Irwan Krisdiyanto, artis di Dangdud Akademi 2 (DA2) yang lolos menjadi finalis asal  Bluto Sumenep. Melalui prestasinya menjadi juara menjadikannya mampu membawa Sumenep Madura harum. Perjuangan untuk bisa lolos di DA2 tidak mudah, butuh waktu lama untuk mewujudkan impian tersebut.

Setelah ia mulai menata karirnya menjadi artis dangdut sering kali ia manggung di berbagai wilayah di Indonesia. Tentu, dengan bakat yang dimilikinya, yang mampu mengantarkannya menjadi lebih baik dari sebelumnya, justru tidak membuatnya mengesampingkan pendidikannya. Bagi dia, pendidikan harus dinomorsatukan.

Koran harian Koran Madura melaporkan bahwa Irwan mengikuti UAS semester genap di Universitas Wiraraja Sumenep pada Senin, 24 Juni 2019. Kedatangan artis nasional asal Sumenep tersebut menjadi perhatian banyak orang, mulai dari mahasiswa-mahasiswi hingga civitas akademika. Bahkan diburu untuk diajak selfie. Sebelum dia benar-benar mengikuti prosesi UAS, terlebih dahulu ia menyempatkan bertemu rektor dan jajarannya beserta para dosen di perguruan tinggi almamaternya tersebut.

Irwan sendiri adalah mahasiswa Wiraraja di jurusan hujum di fakultas hukum. Ketika ditanya apakah ia akan melanjutkan S2 Pascasarjana nanti, ia justru meminta dukungan berupa sumbangan doa kepada semua pihak, termasuk kepada semua fansnya.

Sebelum ia kembali ke Jakarta terlebih dahulu ziarah ke pasarean para wali Sumenep, kemudian ia bersilaturahmi dengan wakil bupati Sumenep, Ach. Fauzi dan ketua DPRD Herman Dali Kusuma. Kemudian sebelum pulang ia juga terlebih dahulu pamit ke KH. A. Busyro Karim dan Istrinya Nurfitriyana Busyro (*).

Thursday, June 20, 2019

MASJID BAITUSSALAM SEBELUM DIRENOVASI

MASJID BAITUSSALAM
Ketika Nabi Saw mulai membangun sebuah peradaban baru di Madinah, pertama yang dilakukan Nabi Muhammad Saw adalah membangun Masjid. Baru setelah itu membangun pasar.

Masjid didirikan sebagai wahana untuk menggerakkan gairah masyarakat Muslim yang ketika itu terdiri dari antara orang Madinah sendiri sebagai penduduk setempat (Kaum Anshar) dan orang Muslim yang hijrah bersama Nabi Muhammad Saw ke Madinah (Muhajirin), yang ketika itu berhasil membentuk sebuah komunitas baru menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yaitu persaudaraan antar muslim.

Setelah membentuk menjadi satu kesatuan sebagai bangsa yang satu yaitu komunitas muslim (ukhuwah islamiah), maka sudah tidak berlaku lagi di antara mereka sebuah perbedaan sisi, sistem klasifikasi kelas. Semuanya sama. Yang berbeda di antara mereka adalah ketakwaannya.

Nabi membangun Masjid bukan sekadar menyiapkan untuk tempat shalat, karena seluruh persada bumi telah dijadikan Allah SWT buat kaum muslimin sebagai arena untuk shalat dan mengabdi kepada-Nya. Sekali lagi bukan sekadar untuk itu, tetapi untuk menjadi pusat kegiatan umat Islam.

Karena itu, signifikansi masjid sangat besar. Sejak saat itu, kaum muslimin sudah bisa mengetahui lebih jauh seputar Islam dan pengamalannya melalui majlis ta'lim yang ditempatkan di masjid, serta mulai bergerak kearah tujuan yang signifikan melalui proses diskusi atau musyawarah guna menyampaikan problem umat, arena latihan bela negara dan pengobatan kaum muslimin, bahkan menjadi tempat tahanan.

Umat Islam harus benar-benar bisa menghayati semua itu. Ketika hadir ke masjid, seperti ketika hadir berjemaah, coba hadirkan hatinya, guna merenungi perjuangan Baginda Rasulullah Saw ketika berdakwah. Semoga dengan siklus menghadirkan perjuangan Baginda Rasulullah kita bisa mendapatkan syafaatnya.


MASJID BAITUSSALAM, Prang Alas Daerah Pakamban Daya Sumenep membutuhkan bantuan kaum muslimin, yang sebentar lagi akan direnovasi. Salurkan bantuan anda ke Thang Nyamah Umam di rekening no: 10, ekowah.

Foto Masjid BAITUSSALAM desa Prang Alas Pakamban Daya Pragaan Sumenep Jawatimur

Saturday, June 15, 2019

IJTIHAD PENDIDIKAN PESANTREN



Buku Akar Sejarah Etika Pesantren buku bagus ditulis oleh seorang budayawan, bernama Aguk Irawan MN. Buku ini cocok dibaca, karena di dalamnya menyuguhkan beberapa panduan tentang strategi dakwah perspektif pesantren yang baik. Selamat membaca.


Judul : Akar Sejarah Etika Pesantren di Nusantara
Penulis: Aguk Irawan MN
Penerbit: Pustaka IIMaN
Tahun terbit: 2018
Tebal: 462 halaman.
ISBN: 978-602-8648-29-5
Peresensi: Ashimuddin Musa*


Buku ini menarik sekali, karena di dalamnya mampu mengulas berbagai hal tentang arti penting dan strategi dakwah yang substansial sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah.

Adalah menjadi penting pula dimiliki dan dibaca oleh semua kalangan, wabil khusus mereka yang menekuni dakwah saat ini bagaimana bisa mengimplementasikan nilai-nilai luhur (ma'ruf) bukan dengan cara kasar (mungkar), buku ini menyajikan informasi penting sebagai panduan.

Hal yang penting pula agar misi utama Islam dapat tersampaikan, para juru dakwah hendaknya terlebih dahulu mengetahui bahwa Nabi Muhammad Saw dalam berdakwah tidak dengan cara kekerasan. Tugas nabi dalam implementasi dakwah pun tidak dengan paksaan, sebab itu berada pada wewenang Tuhan, tetapi dia hanya menyampaikan apa saja yang diperintahkan Allah SWT kepada umatnya.

Maka, hal seperti itulah dakwah yang kemudian dipromosikan oleh para pendakwah awal di Indonesia, dengan menginternalisasikan nilai-nilai luhur tanpa harus memberengus budaya lokal, apalagi menghakiminya dengan syirik dan bid'ah. Oleh sebab itu, mari berislam dengan cara mengayomi, bukan dengan Islam yang membenci.

Selamat membaca resensi saya di Radar Madura Edisi Sabtu, 25 2019.

WISATA ROHANI BERSAMA BIS K. M. FAIZI

Ruang Kelas Berjalan ditulis oleh K. M. Faizi, penyair nasional sekaligus kyai di lingkungan pesantren Annuqayah Guluk-guluk, Sumenep.

WISATA ROHANI BERSAMA BIS KIYAI M. FAIZI
Judul Buku: Ruang Kelas Berjalan, Catatan Perjalanan Dari Terminal Ke Terminal
Penulis: M. Faizi
Penerbit: BASABASI
Tahun Terbit: Juli 2018
Tebal: 292 halaman
ISBN: 978-602-5783-11-1
Peresensi: Ashimuddin Musa*


Ketika momentum hari raya Idul Fitri berakhir, hal-hal yang berpotensi baik seperti implementasi halal bihalal, dianggap berakhir pula. Secara esensial, hadirnya memon sakral tersebut memberikan pendidikan bagi kaum beriman.

Adalah kesempatan berharga untuk berkontestasi melakukan kebaikan, baik hubungannya dengan Allah, seperti mengerjakan perintah Allah yang bersifat mafrudah atau yang masnunah, maupun yang berkaitan dengan hubungan horizontal. Seperti tradisi bersalam-salaman sebagai perwujudan menebus kesalahan.

Pendidikan puasa  pada hakikatnya mengajarkan tentang kemanusiaan. Bahwa, hakikat manusia adalah sama. Yang membedakan di antara mereka adalah ketakwaannya.

Maka, hal yang lebih penting lagi dari itu upaya kita memaknai nilai-nilai moralitas luhur yang terdapat pada pesan simbolis puasa dapat dikontekstualisasikan ke dalam kehidupan sehari-hari kita saat ini.

Nilai-nilai simbolis yang dikandung oleh bulan puasa tersebut adalah pelajaran penting tentang arti kebersamaan. Di balik menahan rasa lapar dan haus ada pelajaran bagi kaum muslimin yang kuat secara finansial agar mengasihi yang lemah dengan membantu meringankan beban mereka.

Buku "Ruang Kelas Berjalan, Catatan Perjalanan Dari Terminal Ke Terminal" merupakan salah satu sumbangan produktif yang menarik dibacanya, mengingat bahwa kita hidup dalam konteks kehidupan yang serba kalut.

Krisisnya spiritualitas dan solidaritas sosial menjadi penghambat untuk merangkul kembali seluruh kaum muslimin agar kembali membentuk umat yang satu menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan moralitas luhur. Kesalehan sosial pun kian melemah. Implikasinya, kerusuhan, perselisihan, dekadensi moral terjadi di mana-mana.

Kumpulan esai-esai pilihan dalam buku ini menyuguhkan renungan-renungan yang cerdas, kritis, solutif, inovatif, transformatif sekaligus unik, dengan bumbu-bumbu cerita ciri khas penulisnya menjadi menarik untuk dikonsumsi oleh siapapun.

*Rensi sudah dimuat di Koran Harian  Pagi Kabar Madura.



Saturday, June 1, 2019

Refleksi pagi di Bulan Suci

Setiap individu pasti membutuhkan uang. Tetapi, kebutuhan ini hanya sebatas sementara saja. Uang hanya digunakan untuk pemenuhan agar dapat bertahan hidup.

Tujuan yang sesungguhnya adalah Allah, bukan uang itu sendiri. Kita berusaha karena ada tanggungjawab yang harus dipenuhi sebagai hamba.

Bahwa hamba memiliki amanah menjalankan perintah Allah dengan sebaik-baiknya. Ini dinamakan hubungan hamba dengan Tuhannya (vertikal).

Selain itu, ada amanah yang harus dijalankan secara proporsional oleh hamba, yaitu hubungan antar sesama kaum beriman (horizontal).

Semua itu, adalah termasuk amanah yang urgen agar diberikan perhatian lebih oleh setiap insan. Adalah menjadi kurang seimbang ibadah kita yang hanya memandang bahwa ibadah hanyalah sebatas salat, puasa dan sejenisnya tanpa meresapi betul substasinya.

Substansi di sini adalah nilai-nilai substantif di dalamnya. Seperti yang saya kutip dalam harian Radar Madura, bahwa, selain kita ada tanggung jawab untuk beribadah kepada Allah SWT, seorang hamba memiliki boban moral untuk diberikan tempat secara proporsional.