Sunday, August 11, 2019

IBADAH KURBAN, WUJUD SOLIDARITAS SOSIAL

Dimuat di Santri News Jatim
Oleh: Ashimuddin Musa*

Setiap tahun, umat Islam merayakan hari besar Islam, yaitu hari raya Idul Adha. Ada pula yang menyebutnya hari ini sebagai hari kurban. Sebab, di hari yang berkah ini kaum muslimin melakukan ritual kurban sebagai serangkaian pengabdian kepada Allah SWT. yang memiliki dimensi ibadah murni dan juga dimensi kemanusiaan. Dengan kata lain, hubungan horizontal merupakan salah satu faktor terjalinnya hubungan vertikal secara baik.

Kurban, dari asal kata qarabah berarti dekat. Dengan demikian, ibadah kurban adalah sarana untuk mendekatkan diri hamba terhadap Allah, Tuhan pencipta langit dan bumi beserta seisinya. Oleh sebab itu, penting bagi kaum muslimin memperhatikan betul makna kurban ini.

Artinya, ibadah kurban bukan sekadar sebagai ibadah seremonial yang hanya dirayakan tiap tahun sekali, kemudian melupakannya di kala semua telah selesai. Hakikatnya kurban memiliki makna substantif yang sarat nilai yang harus dihayatinya.

Allah SWT tidak memandang hamba dari sudut pandang ketampanan, kekayaan, serta kemiskinannya. Tidak pula karena besarnya dosa-dosa yang telah dikerjakan. Mereka semua berhak berkontestasi mengerjakan yang terbaik dalam menjalankan amal ibadahnya.

Tugas hamba hanya untuk beribadah dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Adalah bukan wewenang hamba menilai Hitam-Putih amal tiap-tiap individu. Pada gilirannya, mereka saling menyesatkan satu sama lain. Adalah ada pada hak prerogatif Allah SWT wewenang memberikan penilaian baik-buruknya tiap-tiap amal hamba tersebut.

Dalam kaitannya dengan berkurban, Allah SWT tidak menilai besarnya hewan yang disembelih yang dipersembahkan untuk berkurban. Tidak lebih memikat hati persembahan kurban sapi seseorang yang gemuk dari sekadar berkurban kambing. Demikian juga, tidak lebih hina orang-orang yang beriman dan belum mampu berkurban di tahun ini. Karena perintah kurban dikhususkan bagi mereka yang mampu untuk bisa berbagi.

Perintah kurban adalah sebuah anjuran bagi yang mampu yang harus dilakukan dengan ikhlas, bukan dalam rangka pamer kemewahan, yang terkadang keikhlasan bisa hilang. Dalam hal ini, tentu kita harus menghindari diri dari rasa riya' dan mutivasi yang bisa merusak pahala kurban yang dilakukan.

Allah SWT berfirman, "Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak mencapai (keridlaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikian Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu, dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik". (QS. Al-Haj (22): 37).

Ayat ini memerintahkan agar dari setiap  orang tidak sampai menyombongkan diri sendiri. Setiap dari persembahan kurban harus dilakukan berdasarkan pada keikhlsan hati. Dari sini cukup jelas, dengan penuh keikhlasan dan senang hati menunaikan ibadah kurban maka Allah memberikan persembahan kurban seseorang dengan predikat cumlaude (memuaskan).

Sebaliknya, Allah SWT tidak melihat besarnya persembahan dari kita manakala rasa ikhlas dapat berkurang dari setiap hamba. Seperti dijelaskan di atas, besarnya hewan kurban kita tidak menjamin bahwa pahala kita cukup besar dari mereka yang hanya berkurban dengan kambing. Namun demikian, berkurban yang dilandasi rasa ikhlas serta ketakwaan kepada-Nya adalah sangat diutamakan, apalagi hewan yang dikurbankan adalah sapi atau unta.

Pesan moral dari pelajaran kurban ini adalah upaya kita belajar mengikhlaskan diri dari setiap pengorbanan hewan kurban. Dengan perasaan susah mengeluarkan hewan kurban adalah untuk mengetahui seberapa besar kekuatan ikhlas kita. Selain itu, Islam menganjurkan umat agar menjalankan hidup damai, berkeadilan serta memahami dan menghayati arti penting solidaritas.

Melalui perintah kurban, jelas sekali rejeki yang ada pada mereka tidak lain sebagai titipan Tuhan Yangang Maha Esa. yang harus disebarluaskan atau dibagi-bagikan kepada orang yang berhak mendapatkan. (*)

Thursday, August 8, 2019

Resensi Harian Analisa: Sejarah Politik Wali Songo di Nusantara


Dimuat di Harian Analisa edisi Jum'at, 9 Agustus 2019

Wali Songo selalu menjadi topik hangat yang terus diperbincangkan dalam kajian sejarah Islamisasi Nusantara. Sebagian mereka ada yang mendukung sebagian lagi menolaknya. Mengapa mereka menolak? Menurut Agus Sunyoto, penulis buku ini, karena bagi mereka sejarah adalah hanya  hasil konstruksi para elite pemenang. Sebuah argumentasi kontroversial.

Sebagai bentuk penolakannya, terbit beberapa buku sanggahan terhadap sejarawan yang mendukung keberadaan peran Wali Songo ini. Di antaranya tulisan Sjamsudduha berjudul "Walisanga Tak Pernah Ada?" Yang berisi asumsi-asumsi argumentatif yang menjelaskan bahwa Wali Songo tidak pernah ada. Kemudian, gugatan lain juga muncul dari sekelompok intelektual yang tulisan-tulisannya mengingkari keberadaan Wali Songo dari ranah sejarah. Tulisan-tulisan tersebut dikodifikasi dalam Ensiklopedia Islam terbitan Ikhtiar Baru Van Hoeve.

Buku Atlas Wali Songo yang ditulis oleh Agus Sunyoto adalah buku pertama yang mengungkap Wali Songo sebagai fakta sejarah. Di dalamnya diuraikan bukti-bukti faktual terkait sejarah berkembangnya Islam di Nusantara dengan penuh ketelitian dan kehati-hatian. Melalui proses jangka panjang akhirnya buku ini diterbitkan oleh penerbit pustaka IIMaN bekerjasama dengan LESBUMI PBNU, yang saat ini sudah memasuki cetakan ke VIII.

Agus Sunyoto dalam buku ini memberikan peta perjalanan para pendakwah Islam yang dibawa oleh kaum muslimin dari Arab, India dan China melalui kontak perdagangan. Dari sini, para pedagang muslim, selain ada tujuan untuk berdagang ke kawasan Asia Tenggara, mereka juga memiliki gairah (spirit) serta komitmen yang kuat untuk menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar dengan keteladanan moral, kasih sayang, kedermawanan, toleransi, pendekatan persuasif, dan penampilan beberapa karamah (hlm. 47).

Islam yang dipromosikan Wali Songo adalah Islam rahmatan lil alamin: sebagai rahmat bagi seluruh alam. Dalam dakwah, mereka tidak mengesampingkan etika Islam.  Etika Islam yang dimaksudkan adalah mengajarkan kesejukan, keadilan, damai, emansipatoris, toleransi, dan tidak membenci.

Dengan keteladanan moral, di samping karamah-karamah yang dimilikinya, menjadikan Islam begitu melekat dalam kehidupan penduduk Nusantara yang sudah mengalami proses Indianisasi. Pun demikian, mengembangkan pemahaman yang sepakat untuk mendamaikan dunia keilmuan dengan dunia politik serta spiritualitas guna membangun peradaban Islam sehingga cocok dengan kondisi bangsa yang majemuk.

Dengan tidak menyertakan nama-nama para wali di dalam buku sejarah islamisasi Nusantara dengan pertimbangan berbeda faham dan aliran, tindakan seperti inilah, selain melakukan distorsi dan pemelintiran terhadap kebenaran faktual, juga mengakibatkan perpecahan karena pesan yang disampaikannya tidak lagi objektif, tetapi sudah bercampur dengan kepentingan politik kelompoknya.

Usaha penghapusan Wali Songo dalam penyebaran Islam di Nusantara, menurut Sunyoto, tidak bisa ditafsirkan lain kecuali merupakan usaha-usaha sistematis dari golongan minoritas untuk membasmi paham mainstream Islam Nusantara dengan cara menghapuskan keberadaan Wali Songo dari konteks sejarah