Sunday, March 18, 2018

GURU[1]; Digugu dan Ditiru*



Saya semakin bingung atas sikap santri yang kian hari mengalami perubahan, dengan tidak mencerminkan sebagai seorang santri yang seyogianya, sebagaimana dalam kesehari-hariannya tidak bisa dilepaskan dari yang namanya akhlaq, kini kebiasaan yang sejatinya harus dirawat nyaris tidak lagi diperhatikan (terjadi demoralisasi). Kalau santri dulu (senioritas) menganggap bahwa akhklaq itu adalah merupakan sesuatu yang sangat signifikan, maka tidak demikian halnya dengan santri sekarang (yunioritas). Justru akhlaq dinomor duakan.
Ada beberapa penyebab yang menjadikan seseorang semacam itu. Di antaranya, kekurang-tahuan, kurannya perhatian dan ketidak-terbiasaan ketika seseorang itu dalam kesehariannya menjunjung tinggi etika yang baik. Sebagai contoh, umpama saja, masih saja acangga’ (bahasa pondoknya melawan) orang yang lebih tua, tertawa kelewatan batas, suka syirik, riya’, mengganggu orang lain, padahal agama secara tegas melarang perbuatan itu.
Atas kasus ini, sebagai seorang santri hendaknya berlaku baik dengan terus selalu menciptakan individu-individu yang berkarakter baik, sopan, bahkan sebisanya menjadi cerminan bagi yang lain. Tentu, untuk bisa berlaku baik, sebelum melangkah pada memperbaiki orang lain, terlebih dahulu tentunya harus memulai dari membenarkan perilaku diri kita masing-masing. Terus pertanyaannya, sampai kapan saat-saat yang pas bagi kita untuk menegakkan “amar ma’ruf nahi mungkar” sementara kita kurang merasa pantas karena berbagai alasan dan pertimbangan?
Ada baiknya tulisan ini pembaca ikuti sampai titik-titik terakhir. Utamanya bagi mereka para santri, baik santri senior ataupun junior. Senyatanya, tidak ada perbedaan yang mencolok antara santri senior dengan junior. Di mata Tuhan, semuanya sama, yaitu tidak membeda-bedakan derajat (kedudukan) dan keturunan, antara yang kaya atau yang miskin, yang ganteng atau pun yang jelek. Tidak, Dia bahkan lebih menyukai orang yang lemah dan rendah diri—siapapun itu—dari pada yang sombong, riya’, dan angkuh, atau bisa jadi orang yang merasa sok suci tetapi kelakuannya sama sekali tidak mencerminkan perilaku yang baik. Sebagai seorang manusia sama-sama memiliki kewajiban untuk menegakkan yang ma’ruf (pekerjaan yang disenagi oleh Allah Swt) dan menjauhi perkara yang mungkar (kelakuan yang dibenci Allah Swt).
Unsur kelembutan atau kerendahan hati, sebagai sikap manusia terhadap kebaikan Tuhan, merupakan titik poros etika Islam sebagian besar, meskipun tidak semuanya, tugas-tugas moral yang dikenal dalam Islam sesungguhnya berasal dari kebaikan tersebut. Kebaikan diperintahkan kepada orang-orang beriman dalam setiap keadaan. Kebaikan haruslah merupakan sebuah prinsip yang melandasi semua hubungan manusia dalam masyarakat maupun dalam keluarga. Karenannya, sebagai pengelola pesantren seringkali menyampaikan kepada seluruh santri, baik dalam bentuk tausiyah, dalam kelas, kamar, dan dalam keadaan ketika santai, menekankan para santri untuk selalu rendah hati dan lemah lembut terhadap sesama, terhadap orang tua, dan selalu melakukan mereka dengan baik. Guru ataupun pengurus adalah orang tua para murid. Makanya di dalam pendidikan diistilahkan dengan “anak didik”, sebab para guru mendapatkan amanah untuk mengawasi, membina, mengarahkan, membesarkan, merawat, mendidik kepada yang baik.
Pendidikan di pesantren tidak lah jauh berbeda dengan pendidikan-pendidikan pada umumnya di luar pesantren dalam hal kurikulum pelajarannya; kendatipun ada sebagian pesantren yang dalam prakteknya, tidak menggunakan sistem dualisme kurikulum pelajaran. Yang berbeda mungkin adalah dalam hal praktek penerapannya. Tulisan ini tidak hendak ingin mendiskusikan seperti apa wajah beserta implementasi pendidikan di pesantren. Yang akan didiskusikan di sini adalah penyebab demoralisasi santri di pesantren.
Secara historis, pesantren mendapatkan tempat kepercayaan masyarakat yang sangat tinggi dalam hal pendidikan keagamaannya. Pesantren, bagi mereka, adalah tempat satu-satunya yang dipandang mampu mencetak kader santri unggulan dalam hal mengajarkan bidang ilmu keagamaan. Makanya, sangat disayangkan apabila citra pesantren dinodai, yang kecewa tidak hanya satu dua orang, melainkan seluruh masyarakat merasa kecewa, karena pesantren adalah milik masyarakat dan untuk masyarakat.
Inilah mungkin yang membedai antara pendidikan di pesantren dengan pendidikan di luar pesantren. Kalau pendidikan di dalam pesantren, materi tidak hanya sebatas diajarkan di bangku pelajaran, melainkan dalam prakteknya terus dikembangkan dalam wujud aktualisasi oleh guru atau pengurus pesantren di hadapan para santri atau murid yang mengenyam pendidikan di pesantren. Santri senior (yang sudah diangkat menjadi guru) diharapkan bisa mengayomi santri junior dengan baik, berlaku sopan setiap kali bertemu, sebab ia menjadi cerminan para santri junior. Sebabnya, guru adalah cerminan dalam menciptakan etika seluruh santri dalam aktifitasnya sehari-hari. Sebaliknya, tindakan seorang guru atau pun pengurus yang sama sekali tidak mencerminkan sebagaimana halnya etika yang baik, maka jangan salahkan apabila junioritas tersebut berlaku aneh-aneh yang sama sekali tidak sesuai dengan yang diharapan. Sebab kata pepatah mengatakan, buah itu jatuh tidaklah jauh dari pohonnya. Maka, para guru terlebih dahulu menyangsikan dirinya, barangkali dirinya lah selama ini secara tidak langsung telah mengajarkan tingkah laku yang kurang baik terhadap para muridnya.
Menurut Moh. Nihwan, M.Pd., sebagai seorang guru, hendaknya mencerminkan perilaku yang sopan, baik dan berbobot, sebab menurutnya ia mendapatkan tempat yang dalam kesehari-hariannya tersebut tidaklah lepas dari perhatian para murid. Lebih lanjut beliau mengatakan, “guru adalah menjadi cerminan murid mulai dari ujung rambut sampai ujung kuku kaki”. Artinya, guru harus ekstra hati-hati dalam hal bertingkah laku. Oleh karena itu, bagi mereka yang sudah mendapat kepercayaan pengasuh di pesantren, misalnya, atau mereka yang mendapat kepercayaan sebagai pendidik, jangan bangga dulu terhadap posisi tersebut. Sebab hal itu adalah menjadi tontonan publik dalam hal menciptakan moral murid yang baik. Maka, sebagai representasi bagi para murid, seharusnya sebagai seorang guru tidak memperkenalkan tingkah laku yang aneh-aneh di muka umum, termasuk salah satunya adalah di hadapan para murid, meskipun secara personal ia mengakui kalau dirinya juga sering lalai dalam hal melakukan tindakan yang baik tersebut, misalnya sebelum makan lupa membaca basmalah dan lain-lain; karena lupa adalah merupakan sifat alamiah yang dimiliki oleh setiap manusia; termasuk para guru dan murid.
Tulisan ini ditulis tidak hendak untuk mendiskreditkan individu-individu atau kelompok-kelompok tertentu, sebenarnya tulisan ini ditulis pada dasarnya adalah untuk mengingatkan diri saya pribadi untuk tidak selalu membanggakan diri dengan mengisi hari-hari saya dengan tindakan yang amoral, sementara di luar sana ada orang lain yang mengintip dengan tidak sengaja diri saya pribadi telah ditiru oleh orang lain dalam hal tindakan amoral itu. Selain dari pada itu, tulisan ini juga tidak hendak melemahkan mereka yang telah dipercaya sebagai pribadi yang mampu menjadi pendidik, terlepas dari semua itu paling tidak dijadikan pertimbangan serta koreksi untuk menciptakan diri kita semakin baik menuju hari-hari berikutnya. Lebih lanjut, tidak hanya untuk para guru saja untuk melakukan kebaikan dengan menghiasi kesehariannya dengan etika, tanpa selalu menunggu komando, sebagai seorang murid, diharapkan menjadi koreksi untuk senantiasa memperhatikan akhlaqul karimah ini semampu mungkin, dan bisa saling mengingatkan terhadap yang lainnya, yang kedapatan melakukan perkara mungkar tersebut.
Atas perintah yang ini bukan lah hal baru, dari era audien historis, masa Rasulullah Saw dan para sahabat nabi berlanjut sampai era muslim pertengahan kemudian era masa kini, secara berkelanjutan dengan istiqomah mengamalkan tradisi yang dipertontonkan oleh panutan umat, Rasulullah Saw. Beliau dalam sebuah hadisnya menegaskan, “Innama buitstu liutammima makarimal akhlaq”. Tradisi yang demikian ini tetap dilestarikan di pesantren untuk kemudian ditransmisikan kepada kader santri. Pesantren yang posisinya menjadi kepercayaan masyarakat sebagai pilihan yang tepat dalam transformasi ilmu yang baik (hasanah), termasuk dalam hal ini adalah akhlaq, maka pesantren dituntut untuk mengamini kepercayaan masyarakat dengan terus menjaga nama baik pesantren dengan tidak mensusupinya dengan citra negatif seperti tidak dikotori dari stigma yang kurang baik, termasuk dalam hal ini adalah pendidikan amoral. Terus bagaimana cara merawat tradisi akhklaq tersebut agar tidak dicederai oleh stigma seperti yang dituturkan tadi, atas hal ini adalah memperbaiki dengan memberikan pendidikan yang dapat mengantarkan santri pada suatu yang baik, termasuk salah satunya adalah pendidikan moral. Pendidikan moral tidak cukup dengan sebatas materi seperti yang diajarkan di dalam kelas saja, melainkan harus berbentuk praksis (implementatif), sehingga tercipta iklim lingkungan yang religius dan berkarakter. Kalau semua itu di atas dapat dipraktekan secara baik oleh santri senior, maka tidak ada tidak mungkin untuk menyemaikan embrio santri yang berkarakter, religius, ta’at serta patuh kepada Allah Swt, kepada orang tua, guru dan sesamanya, dalam hal melakukan kebaikan. Untuk itu, ibda’ binafsik, mulailah dari diri kita terlebih dahulu dalam melaksanakan kebaikan untuk kemudian ditransformasikan oleh juniortas. Jangan sampai ciptakan iklim lingkungan yang kurang baik dengan memberikan contoh perilaku amoral yang tidak seharusnya dipertontonkan terhadap santri junior kita. Wallahu a’lam bishawab.
*) Ashimuddin Musa, akrab disapa Gus Mus.


[1] Istilah pengurus biasanya disandingkan kepada para ustadz atau guru yang masih tercatat aktif di pesantren, karena mereka berbaur langsung dengan para santri dalam kehidupan sehari-hari; berbeda halnya dengan keumuman guru yang mentransmisikan keilmuannya hanya sebatas di dalam kelas, bangku belajar atau di meja kampus perkuliyahan, yang berbeda dengan pengurus yang dalam metode mengajarkan keilmuannya dalam bentuk praktis.