Saya semakin bingung atas sikap santri yang kian
hari mengalami perubahan, dengan tidak mencerminkan sebagai seorang santri yang
seyogianya, sebagaimana dalam kesehari-hariannya tidak bisa dilepaskan dari
yang namanya akhlaq, kini kebiasaan yang sejatinya harus dirawat nyaris tidak
lagi diperhatikan (terjadi demoralisasi). Kalau santri dulu (senioritas)
menganggap bahwa akhklaq itu adalah merupakan sesuatu yang sangat signifikan,
maka tidak demikian halnya dengan santri sekarang (yunioritas). Justru akhlaq
dinomor duakan.
Ada beberapa penyebab yang menjadikan seseorang
semacam itu. Di antaranya, kekurang-tahuan, kurannya perhatian dan ketidak-terbiasaan
ketika seseorang itu dalam kesehariannya menjunjung tinggi etika yang baik.
Sebagai contoh, umpama saja, masih saja acangga’ (bahasa pondoknya melawan)
orang yang lebih tua, tertawa kelewatan batas, suka syirik, riya’, mengganggu
orang lain, padahal agama secara tegas melarang perbuatan itu.
Atas kasus ini, sebagai seorang santri hendaknya
berlaku baik dengan terus selalu menciptakan individu-individu yang berkarakter
baik, sopan, bahkan sebisanya menjadi cerminan bagi yang lain. Tentu, untuk
bisa berlaku baik, sebelum melangkah pada memperbaiki orang lain, terlebih
dahulu tentunya harus memulai dari membenarkan perilaku diri kita
masing-masing. Terus pertanyaannya, sampai kapan saat-saat yang pas bagi kita
untuk menegakkan “amar ma’ruf nahi mungkar” sementara kita kurang merasa
pantas karena berbagai alasan dan pertimbangan?
Ada baiknya tulisan ini pembaca ikuti sampai
titik-titik terakhir. Utamanya bagi mereka para santri, baik santri senior
ataupun junior. Senyatanya, tidak ada perbedaan yang mencolok antara santri
senior dengan junior. Di mata Tuhan, semuanya sama, yaitu tidak membeda-bedakan
derajat (kedudukan) dan keturunan, antara yang kaya atau yang miskin, yang
ganteng atau pun yang jelek. Tidak, Dia bahkan lebih menyukai orang yang lemah
dan rendah diri—siapapun itu—dari pada yang sombong, riya’, dan angkuh, atau
bisa jadi orang yang merasa sok suci tetapi kelakuannya sama sekali
tidak mencerminkan perilaku yang baik. Sebagai seorang manusia sama-sama memiliki
kewajiban untuk menegakkan yang ma’ruf (pekerjaan yang disenagi oleh
Allah Swt) dan menjauhi perkara yang mungkar (kelakuan yang dibenci
Allah Swt).
Unsur kelembutan atau kerendahan hati, sebagai
sikap manusia terhadap kebaikan Tuhan, merupakan titik poros etika Islam
sebagian besar, meskipun tidak semuanya, tugas-tugas moral yang dikenal dalam
Islam sesungguhnya berasal dari kebaikan tersebut. Kebaikan diperintahkan
kepada orang-orang beriman dalam setiap keadaan. Kebaikan haruslah merupakan
sebuah prinsip yang melandasi semua hubungan manusia dalam masyarakat maupun
dalam keluarga. Karenannya, sebagai pengelola pesantren seringkali menyampaikan
kepada seluruh santri, baik dalam bentuk tausiyah, dalam kelas, kamar,
dan dalam keadaan ketika santai, menekankan para santri untuk selalu rendah
hati dan lemah lembut terhadap sesama, terhadap orang tua, dan selalu melakukan
mereka dengan baik. Guru ataupun pengurus adalah orang tua para murid. Makanya
di dalam pendidikan diistilahkan dengan “anak didik”, sebab para guru
mendapatkan amanah untuk mengawasi, membina, mengarahkan, membesarkan, merawat,
mendidik kepada yang baik.
Pendidikan di pesantren tidak lah jauh berbeda
dengan pendidikan-pendidikan pada umumnya di luar pesantren dalam hal kurikulum
pelajarannya; kendatipun ada sebagian pesantren yang dalam prakteknya, tidak
menggunakan sistem dualisme kurikulum pelajaran. Yang berbeda mungkin adalah
dalam hal praktek penerapannya. Tulisan ini tidak hendak ingin mendiskusikan
seperti apa wajah beserta implementasi pendidikan di pesantren. Yang akan
didiskusikan di sini adalah penyebab demoralisasi santri di pesantren.
Secara historis, pesantren mendapatkan tempat
kepercayaan masyarakat yang sangat tinggi dalam hal pendidikan keagamaannya. Pesantren,
bagi mereka, adalah tempat satu-satunya yang dipandang mampu mencetak kader
santri unggulan dalam hal mengajarkan bidang ilmu keagamaan. Makanya, sangat
disayangkan apabila citra pesantren dinodai, yang kecewa tidak hanya satu dua
orang, melainkan seluruh masyarakat merasa kecewa, karena pesantren adalah
milik masyarakat dan untuk masyarakat.
Inilah mungkin yang membedai antara pendidikan di
pesantren dengan pendidikan di luar pesantren. Kalau pendidikan di dalam
pesantren, materi tidak hanya sebatas diajarkan di bangku pelajaran, melainkan
dalam prakteknya terus dikembangkan dalam wujud aktualisasi oleh guru atau
pengurus pesantren di hadapan para santri atau murid yang mengenyam pendidikan
di pesantren. Santri senior (yang sudah diangkat menjadi guru) diharapkan bisa
mengayomi santri junior dengan baik, berlaku sopan setiap kali bertemu, sebab
ia menjadi cerminan para santri junior. Sebabnya, guru adalah cerminan dalam
menciptakan etika seluruh santri dalam aktifitasnya sehari-hari. Sebaliknya,
tindakan seorang guru atau pun pengurus yang sama sekali tidak mencerminkan
sebagaimana halnya etika yang baik, maka jangan salahkan apabila junioritas
tersebut berlaku aneh-aneh yang sama sekali tidak sesuai dengan yang diharapan.
Sebab kata pepatah mengatakan, buah itu jatuh tidaklah jauh dari pohonnya.
Maka, para guru terlebih dahulu menyangsikan dirinya, barangkali dirinya lah
selama ini secara tidak langsung telah mengajarkan tingkah laku yang kurang
baik terhadap para muridnya.
Menurut Moh. Nihwan, M.Pd., sebagai seorang guru,
hendaknya mencerminkan perilaku yang sopan, baik dan berbobot, sebab menurutnya
ia mendapatkan tempat yang dalam kesehari-hariannya tersebut tidaklah lepas
dari perhatian para murid. Lebih lanjut beliau mengatakan, “guru adalah
menjadi cerminan murid mulai dari ujung rambut sampai ujung kuku kaki”. Artinya,
guru harus ekstra hati-hati dalam hal bertingkah laku. Oleh karena itu, bagi
mereka yang sudah mendapat kepercayaan pengasuh di pesantren, misalnya, atau
mereka yang mendapat kepercayaan sebagai pendidik, jangan bangga dulu terhadap
posisi tersebut. Sebab hal itu adalah menjadi tontonan publik dalam hal
menciptakan moral murid yang baik. Maka, sebagai representasi bagi para murid,
seharusnya sebagai seorang guru tidak memperkenalkan tingkah laku yang
aneh-aneh di muka umum, termasuk salah satunya adalah di hadapan para murid,
meskipun secara personal ia mengakui kalau dirinya juga sering lalai dalam hal melakukan
tindakan yang baik tersebut, misalnya sebelum makan lupa membaca basmalah dan
lain-lain; karena lupa adalah merupakan sifat alamiah yang dimiliki oleh setiap
manusia; termasuk para guru dan murid.
Tulisan ini ditulis tidak hendak untuk
mendiskreditkan individu-individu atau kelompok-kelompok tertentu, sebenarnya
tulisan ini ditulis pada dasarnya adalah untuk mengingatkan diri saya pribadi
untuk tidak selalu membanggakan diri dengan mengisi hari-hari saya dengan
tindakan yang amoral, sementara di luar sana ada orang lain yang mengintip
dengan tidak sengaja diri saya pribadi telah ditiru oleh orang lain dalam hal
tindakan amoral itu. Selain dari pada itu, tulisan ini juga tidak hendak
melemahkan mereka yang telah dipercaya sebagai pribadi yang mampu menjadi
pendidik, terlepas dari semua itu paling tidak dijadikan pertimbangan serta
koreksi untuk menciptakan diri kita semakin baik menuju hari-hari berikutnya.
Lebih lanjut, tidak hanya untuk para guru saja untuk melakukan kebaikan dengan
menghiasi kesehariannya dengan etika, tanpa selalu menunggu komando, sebagai
seorang murid, diharapkan menjadi koreksi untuk senantiasa memperhatikan akhlaqul
karimah ini semampu mungkin, dan bisa saling mengingatkan terhadap yang
lainnya, yang kedapatan melakukan perkara mungkar tersebut.
Atas perintah yang ini bukan lah hal baru, dari
era audien historis, masa Rasulullah Saw dan para sahabat nabi berlanjut sampai
era muslim pertengahan kemudian era masa kini, secara berkelanjutan dengan
istiqomah mengamalkan tradisi yang dipertontonkan oleh panutan umat, Rasulullah
Saw. Beliau dalam sebuah hadisnya menegaskan, “Innama buitstu liutammima
makarimal akhlaq”. Tradisi yang demikian ini tetap dilestarikan di
pesantren untuk kemudian ditransmisikan kepada kader santri. Pesantren yang posisinya
menjadi kepercayaan masyarakat sebagai pilihan yang tepat dalam transformasi
ilmu yang baik (hasanah), termasuk dalam hal ini adalah akhlaq, maka
pesantren dituntut untuk mengamini kepercayaan masyarakat dengan terus menjaga
nama baik pesantren dengan tidak mensusupinya dengan citra negatif seperti
tidak dikotori dari stigma yang kurang baik, termasuk dalam hal ini adalah
pendidikan amoral. Terus bagaimana cara merawat tradisi akhklaq tersebut agar
tidak dicederai oleh stigma seperti yang dituturkan tadi, atas hal ini adalah
memperbaiki dengan memberikan pendidikan yang dapat mengantarkan santri pada
suatu yang baik, termasuk salah satunya adalah pendidikan moral. Pendidikan
moral tidak cukup dengan sebatas materi seperti yang diajarkan di dalam kelas
saja, melainkan harus berbentuk praksis (implementatif), sehingga tercipta
iklim lingkungan yang religius dan berkarakter. Kalau semua itu di atas dapat
dipraktekan secara baik oleh santri senior, maka tidak ada tidak mungkin untuk
menyemaikan embrio santri yang berkarakter, religius, ta’at serta patuh kepada
Allah Swt, kepada orang tua, guru dan sesamanya, dalam hal melakukan kebaikan.
Untuk itu, ibda’ binafsik, mulailah dari diri kita terlebih dahulu dalam
melaksanakan kebaikan untuk kemudian ditransformasikan oleh juniortas. Jangan
sampai ciptakan iklim lingkungan yang kurang baik dengan memberikan contoh
perilaku amoral yang tidak seharusnya dipertontonkan terhadap santri junior
kita. Wallahu a’lam bishawab.
*) Ashimuddin Musa, akrab disapa Gus Mus.
[1] Istilah pengurus biasanya disandingkan kepada para
ustadz atau guru yang masih tercatat aktif di pesantren, karena mereka berbaur
langsung dengan para santri dalam kehidupan sehari-hari; berbeda halnya dengan
keumuman guru yang mentransmisikan keilmuannya hanya sebatas di dalam kelas,
bangku belajar atau di meja kampus perkuliyahan, yang berbeda dengan pengurus
yang dalam metode mengajarkan keilmuannya dalam bentuk praktis.