Thursday, June 27, 2019

KAMI SANTRI UNTUK INDONESIA

Data Buku: Peradaban Sarung Karya Ach. Dhofir Zuhri terbit pada 2018

Apabila melihat kejadian bahwa seorang siswa di sebuah sekolah formal berani menantang gurunya, melakukan teror, apalagi sampai membunuhnya, adalah sebuah kejadian miris yang telah melanda pendidikan. Pendidikan yang seharusnya dapat melahirkan generasi bangsa Indonesia yang memiliki kesalehan sosial dan moralitas yang luhur malah terkesan gagal mewujudkan itu.

Di sisi lain, kasus seperti di atas tentu saja bikin banyak orang resah. Pada gilirannya, masyarakat semakin bertambah bingung akan meletakkan putra-putrinya di sebuah pendidikan. Mereka -sampai derajat tertentu- membuat mispersepsi dan distorsi dengan menyatakan, kini pendidikan sudah tidak lagi mampu memberikan pendidikan karakter yang bagus. Di saat yang sama, era modern yang diwarnai dengan massifnya informasi semakin menambah kegetiran para orang tua yang tak menentu ketika melihat putra-putrinya semakin berlagak angkuh dan kasar.
Jawa Pos Radar Madura edisi Sabtu 29 Juni 2019
Kehadiran buku ini merupakan  respon untuk meluruskan pandangan keliru tersebut. Ketika hal tersebut tidak segera ditangani, orang-orang yang tidak atau -katakanlah- kurang menyukai pendidikan dikhawatirkan dapat memelintirnya sedemikian rupa. Sehingga, masyarakat tidak bisa membedakan antara pendidikan seperti pesantren dengan sekolah-sekolah formal pada umumnya semuanya dapat dipukul rata. Karena itu, kehadiran buku ini tidak sekadar menarik, tetapi juga sangat penting.

Salah satu ciri khas pendidikan pesantren yang tidak ditemukan di berbagai sekolah adalah kesederhanaan. Melalui pesantren ini, pendidikan karakter justru lebih optimal daripada (maaf) kebanyakan sekolah modern.  Dengan kesederhanaan yang diajarkan oleh kiyai mampu membentuk kedirian dan kepribadian santri dengan karakter yang baik, memiliki kesalahan sosial, dan moralitas luhur. Orang-orang yang besar selalu dibentuk dengan kesederhanaan, bukan kemewahan materi. Moralitas dan karakter sangat jarang ditemukan di sekolah-sekolah sejak gelombang modernitas memasuki setiap sendi kehidupan.

Di dalam buku ini diterangkan bahwa santri adalah seseorang yang tinggal di suatu tempat yang bernama pesantren. Istilah santri adalah adaptasi dari tradisi cantrik Hindu "shastri" dalam bahasa Sansekerta adalah orang yang mempelajari shastra (kitab suci) di pe-shastri-an atau pesantren (hlm 5). Melalui pesantren, seorang santri dapat melihat langsung sikap yang baik dari kiyai atau ustadz. Adanya figur kiyai dan ustadz  yang dapat dijadikan contoh adalah cara paling efektif untuk membentuk karakter santri. Pendidikan teoritis tidaklah cukup tanpa adanya figur hidup yang dapat dilihat langsung.

Yang menjadi persoalan terkadang masyarakat -sampai batas tertentu- memandang sinis pesantren. Pendidikan pesantren identik dengan pendidikan rendahan dan tidak bermutu. Ketika globalisasi dengan nilai-nilai neo-liberalisme yang kapitalistik yang dibawanya kian menggerus nilai-nilai dan tradisi lokal luhur yang tertanam kuat sebelumnya di tengah-tengah masyarakat Indonesia, pandangan kurang menghargai terhadap pendidikan pesantren atau kiyai kian kuat dan melebar. Bahkan, nyaris tidak mendapatkan sentuhan afirmasi atau apresiasi apapun. Padahal sejatinya, pendidikan pesantren syarat dengan sejumlah nilai-nilai moralitas luhur.

Bagi penulis, dengan menjalani kesederhanaan sebagai keseharian sesungguhnya ia adalah simulasi untuk bermasyarakat nanti. Pendidikan di pesantren pun dimulai lebih pagi dan diakhiri lebih larut malam dari pada lazimnya denyut kehidupan di masyarakat. Jadi, soal kedisiplinan dan kesabaran menjalani hidup, santri sudah cukup tangguh. Hal ini jelas sangat bertolak belakang dengan kebanyakan kalangan pelajar di luar pesantren atau mahasiswa di perguruan tinggi yang cenderung hedonis dan tidak mawas diri, ugal-ugalan dan serampangan. Padahal, kita tentu tahu bahwa mereka calon pemimpin.

Dengan demikian, pesantren adalah lembaga pendidikan alternatif yang lebih menomorsatukan pembentukan karakter dan penguatan moral (tarbiyah) daripada sekadar kecerdasan intelektual (ta'lim) yang kerap tidak emansipatoris dan memuliakan manusia. Ketika sekolah hanya mengajarkan kecerdasan teknokratis, bukan kecerdasan emansipatoris yang membebaskan dan memanusiakan manusia, justru pesantren sebaliknya. Usaha untuk tetap waras dan menjadi manusia adalah usaha rintisan pesantren yang tetap lestari hingga kini.

Buku ini terdiri dari 53 esai pilihan dalam bahasa tutur yang ringan, berbentuk esai, tidak secara akademis yang ketat dan berhamburan referensinya yang nantinya justru memberatkan untuk para pemalas. Dalam hal memanjakan pembaca, penerbit berhasil menghadirkan buku ini dengan kemasan menarik, mulai dari sampul hinggap layout isinya. Karena itu, para pemula atau orang-orang yang ingin mengenal pesantren dengan segala tradisi dan khazanahnya, dengan membaca buku ini, menjadi terbantu dengan kehadirannya.