Awal Berfikir Kritis*
Pernah suatu ketika, orang tua berkata, “rejeki
mimang tidak kemana. Jika rejeki itu telah digariskan kepada kita, maka ia akan
datang dengan sendirinya”.
Waktu itu, saya masih kecil. Saya tidak tahu
maksudnyanya apa. Yang terlintas di benak pribadi saya, adalah tanda tanya.
Benarkah rejeki bisa datang kepada saya, apakah ia punya kaki?
Saya hanya bisa membayangkan saja, menjadi orang
kaya raya, yang dalam kehidupan saya penuh dengan dengan segala kecukupan,
tentu sangat bahagia sekali. Saya tidak membayangkan, proses menjadi orang
sukses itu membutuhkan waktu yang panjang; tidak sekedar hanya dengan
membalikkan telapak tangan dengan tanpa dilandasi usaha dan kerja keras.
Pernah suatu ketika saya mengkritik para orang tua
yang kebetulan sekali saya jumpai di jalan. Waktu itu mereka akan pergi ke
sawah dalam rangka mencarikan nafkah keluarga. Di antaranya, ada yang pergi ke
sawah untuk mencarikan pakan kambing, ada pula yang pergi melaut untuk
menangkap ikan, ada pula yang akan pergi ke kantor untuk mengajar. Dengan penuh
rasa percaya diri saya bertanya dengan nada mengkritik mereka, “kenepa para
orang tua sibuk mencari nafkah keluarga, padahal rejeki tidak kemana-mana?”
pertanyaanku waktu itu.
Para orang tua waktu itu hanya diam dan sinis saja
mendengar pertanyaan anak muda sok tahu seperti saya. Sampai berkali-kali saya
bertanya dengan para orang tua yang mau bekerja, mereka tidak menggubris
pertanyaan saya, sampai saya merasa kecewa, kecewa karena tidak dijawab, juga
karena mereka tidak lebih mementingkan pekerjaannya tanpa rela menerima saran
yang menurut saya itu saran konstruktif agar para orang tua tidak terlalu
memanjakan kemauannya, sementara yang mereka lakukan, hemat pribadi saya, hanya
membuang-buang tenaga; buat apa mereka bekerja keras seperti itu, wong rejeki
tidak kemana-mana?
Menginjak usia 15 tahun, saya sudah mulai mandiri.
Cara berfikir saya pun mulai berkembang, tidak seperti saya masih di bangku
paud, yang tidak faham substansi pembicaraan lawan.
Ketika itu, pernah orang tua saya tidak memiliki
uang untuk diberikan kepada saya untuk uang jajan. Karena pada usia seperti itu
masih belum bisa memahami kondisi seseorang, bagaimana susahnya mempunyai anak
yang rewel seperti saya, ditambah lagi permasalahan keluarga lainnya, misalnya.
Yang ada dalam pikiran saya saat itu hanyalah uang, uang dan uang. Saya terus
mengemis, lagi-lagi gagal. Saya mengemis, mulai dari ekspresi marah-marah,
menangis sampai pada tidak makan selama satu menit; tetap saja tidak membuahkan
hasil.
Saya mulai berfikir, bahwa betapa sedihnya bila
suatu harapan belum sampai terwujudkan pada saat-saat yang tepat. Dari sana
awal pendewasaan saya memulai. Sampai memasuki usia ke 17 tahun saya
benar-benar terilhami atas ungkapan yang pernah orang tua katakan kepada saya,
saat saya tidak tahu apa-apa itu. Bahwa untuk mewujudkan segala cita-cita harus
dengan sebuah usaha. Saya jadi sadar, kenapa para orang tua yang kala itu saya
jumpai di jalan waktu saya masih kecil; tidak mengerti pembicaraan orang,
mereka tidak mengubris celoteh saya.
Ternyata, cara pendidikan para orang tua
bermacam-macam. Mulai dari membiarkan pertanyaan, tujuannya agar saya bisa
menemukan jawaban pertanyaan saya dengan cara berfikir sendiri, mencari sendiri
jawabannya, sampai ada pula yang sinis, mereka menganggapnya bahwa pertanyaan
yang saya ajukan adalah tidak lebih dari celoteh di jalanan, yang terlepas dari
nilai-nilai substansial.
Sampai saat itu saya pada kesimpulan, dengan tanpa
dilandasi sebuah usaha, untuk mewujudkan idealita, harus dengan adanya
implementasi sebuah usaha. Kesimpulan ini, saya rasakan setelah melewati
sendiri perputaran kehidupan yang dilalui mulai usia dini. Mulai dari sebuah
kasus yang dipertontonkan sendiri usaha para orang tua, sampai mengalami
sendiri betapa sedihnya bila harapan tidak bisa terwujudkan. Kesimpulan
tersebut menjadi semakin matang dengan adanya tambahan materi secara teoritis
yang diajarkan di bangku sekolah dan materi sekaligus dalam wujud praktis di
bangku kuliyah.
Nah, melalui usaha itu, ditambah lagi dengan
kemantapan munajat saya kepada sang pemilik segala sesuatu, rejeki-rejeki Tuhan
dapat tercapai secara mandiri.