Thursday, March 15, 2018

REFLEKSI

Awal Berfikir Kritis*
Pernah suatu ketika, orang tua berkata, “rejeki mimang tidak kemana. Jika rejeki itu telah digariskan kepada kita, maka ia akan datang dengan sendirinya”.
Waktu itu, saya masih kecil. Saya tidak tahu maksudnyanya apa. Yang terlintas di benak pribadi saya, adalah tanda tanya. Benarkah rejeki bisa datang kepada saya, apakah ia punya kaki?
Saya hanya bisa membayangkan saja, menjadi orang kaya raya, yang dalam kehidupan saya penuh dengan dengan segala kecukupan, tentu sangat bahagia sekali. Saya tidak membayangkan, proses menjadi orang sukses itu membutuhkan waktu yang panjang; tidak sekedar hanya dengan membalikkan telapak tangan dengan tanpa dilandasi usaha dan kerja keras.
Pernah suatu ketika saya mengkritik para orang tua yang kebetulan sekali saya jumpai di jalan. Waktu itu mereka akan pergi ke sawah dalam rangka mencarikan nafkah keluarga. Di antaranya, ada yang pergi ke sawah untuk mencarikan pakan kambing, ada pula yang pergi melaut untuk menangkap ikan, ada pula yang akan pergi ke kantor untuk mengajar. Dengan penuh rasa percaya diri saya bertanya dengan nada mengkritik mereka, “kenepa para orang tua sibuk mencari nafkah keluarga, padahal rejeki tidak kemana-mana?” pertanyaanku waktu itu.
Para orang tua waktu itu hanya diam dan sinis saja mendengar pertanyaan anak muda sok tahu seperti saya. Sampai berkali-kali saya bertanya dengan para orang tua yang mau bekerja, mereka tidak menggubris pertanyaan saya, sampai saya merasa kecewa, kecewa karena tidak dijawab, juga karena mereka tidak lebih mementingkan pekerjaannya tanpa rela menerima saran yang menurut saya itu saran konstruktif agar para orang tua tidak terlalu memanjakan kemauannya, sementara yang mereka lakukan, hemat pribadi saya, hanya membuang-buang tenaga; buat apa mereka bekerja keras seperti itu, wong rejeki tidak kemana-mana?
Menginjak usia 15 tahun, saya sudah mulai mandiri. Cara berfikir saya pun mulai berkembang, tidak seperti saya masih di bangku paud, yang tidak faham substansi pembicaraan lawan.
Ketika itu, pernah orang tua saya tidak memiliki uang untuk diberikan kepada saya untuk uang jajan. Karena pada usia seperti itu masih belum bisa memahami kondisi seseorang, bagaimana susahnya mempunyai anak yang rewel seperti saya, ditambah lagi permasalahan keluarga lainnya, misalnya. Yang ada dalam pikiran saya saat itu hanyalah uang, uang dan uang. Saya terus mengemis, lagi-lagi gagal. Saya mengemis, mulai dari ekspresi marah-marah, menangis sampai pada tidak makan selama satu menit; tetap saja tidak membuahkan hasil.
Saya mulai berfikir, bahwa betapa sedihnya bila suatu harapan belum sampai terwujudkan pada saat-saat yang tepat. Dari sana awal pendewasaan saya memulai. Sampai memasuki usia ke 17 tahun saya benar-benar terilhami atas ungkapan yang pernah orang tua katakan kepada saya, saat saya tidak tahu apa-apa itu. Bahwa untuk mewujudkan segala cita-cita harus dengan sebuah usaha. Saya jadi sadar, kenapa para orang tua yang kala itu saya jumpai di jalan waktu saya masih kecil; tidak mengerti pembicaraan orang, mereka tidak mengubris celoteh saya.
Ternyata, cara pendidikan para orang tua bermacam-macam. Mulai dari membiarkan pertanyaan, tujuannya agar saya bisa menemukan jawaban pertanyaan saya dengan cara berfikir sendiri, mencari sendiri jawabannya, sampai ada pula yang sinis, mereka menganggapnya bahwa pertanyaan yang saya ajukan adalah tidak lebih dari celoteh di jalanan, yang terlepas dari nilai-nilai substansial.
Sampai saat itu saya pada kesimpulan, dengan tanpa dilandasi sebuah usaha, untuk mewujudkan idealita, harus dengan adanya implementasi sebuah usaha. Kesimpulan ini, saya rasakan setelah melewati sendiri perputaran kehidupan yang dilalui mulai usia dini. Mulai dari sebuah kasus yang dipertontonkan sendiri usaha para orang tua, sampai mengalami sendiri betapa sedihnya bila harapan tidak bisa terwujudkan. Kesimpulan tersebut menjadi semakin matang dengan adanya tambahan materi secara teoritis yang diajarkan di bangku sekolah dan materi sekaligus dalam wujud praktis di bangku kuliyah.

Nah, melalui usaha itu, ditambah lagi dengan kemantapan munajat saya kepada sang pemilik segala sesuatu, rejeki-rejeki Tuhan dapat tercapai secara mandiri.