BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pendahuluan.
Al-Quran merupakan sumber utama ajaran Islam, dan juga merupakan pedoman
hidup bagi setiap manusia. Al-Quran bukan sekedar memuat petunjuk tentang
hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan
sesama, bahkan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Dengan demikian, untuk
dapat memahami ajaran Islam secara sempurna, maka langkah pertama yang harus
dilakukan adalah memahami al-Quran.[1]
Sebagai kitab suci Islam, ternyata al-Quran tidak hanya dipelajari,
difahami, diresepsi oleh orang Islam saja, banyak dari kalangan sarjana
non-muslim yang begitu serius belajar Islam, dalam hal ini adalah kitab suci
al-Quran. Mereka mengkaji kitab suci al-Quran ini dengan melalui cara serta pendekatan
yang berbeda-beda. Ada pula yang mempelajari kitab al-Quran bukan karena mereka
percaya bahwa ia adalah firman Tuhan yang sakral yang suci dari campur tangan
siapapun, sebaliknya penelitian mereka terhadap kitab suci al-Quran ini
didasari pada kebencian mereka terhadap Islam. Karena selama ini mereka percaya
bahwa al-Quran-lah selama ini yang telah menghancurkan pemahaman agama-agama
sebelum Islam (Baca agama). Berbeda dengan salah satu dari kalangan orientalis,
sebut saja Jane Dammen Mcauliffe, yang pada saat bersamaan juga belajar Islam,
artinya meneliti al-Quran, meyakini bahwa al-Quran adalah sebagai kalam Tuhan
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.[2]
Makalah ini mencoba
ingin mengetahui bagaimana cara orientalis mempelajari tafsir, terutama dalam
hal ini Jane Dammen Mcauliffe, salah seorang spesialis dalam studi Islam dengan
perhatian utamanya adalah al-Quran serta sejarah interpretasinya. Dengan kata
lain, bagaimana bingkai berfikir Mcauliffe dalam memahami kajian tafsir.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Proses turunnya Al-Qur’an
Adapun tentang Kaifiyyat Al-Qur’an itu diturunkan telah terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama’. Dalam hal ini ada tiga pendapat: Pertama, Al-Qur’an
diturunkan ke langit dunia pada malam lailatul qadr sekaligus dari awal sampai
akhir. Kemudian diturunkan dalam waktu 20 tahun atau 23 tahun atau 25 tahun berdasarkan pada perselisihan
yang terjadi tentang berapa lama nabi bermukim di Mekkah sesudah beliau
diangkat menjadi rosul. Kedua, Al-Qur’an diturunkan ke langit dunia
dalam 20 kali lailatul qadr dalam 20 tahun atau 23 lailatul qadr dalam 23 tahun
atau 25 kali lailatul qadr dalam 25 tahun. Ketiga, Al-Qur’an itu
permulaan turunnya ialah malam lailatul qadr, kemudian diturunkan setelah itu
dengan berangsur-angsur dalam berbagai waktu.[3]
Sedangkan
proses turunnya Al-Qur’an kepada nabi Muhammad SAW melalui tiga tahap, yaitu:
Pertama, Al-Qur’an turun secara sekaligus dari Allah ke Luh Mahfudh, yaitu
suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian
Allah. Kedua, al-Qur’an diturunkan dari Lauh Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah (tempat
yang berada di langit dunia). Ketiga, Al-Qur’an diturunkan dari Baitul ‘Izzah
ke dalam hati Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril dengan cara
berangsur-angsur.[4]
B.
Definisi Ulumul Quran.
Secara etimologi, istilah Ulumul Quran berasal
dari bahasa arab yakni Ulum dan al-Quran. Lafadz ulum merupakan
bentuk jamak dari ilm. Ilm memiliki maka al-Fahmu wa al-Istidrak yang berarti pemahaman dan pengetahuan. Secara terminologis, istilah ulumul
Quran didefinisikan oleh para ulama secara beragam. Manna al-Qaththan,
merumuskan pengertian Ulumul Quran sebagai ilmu yang mencakup berbagai kajian
yang berkaitan dengan kajian-kajian al-Quran dari segi pegetahuan tentang
sebab-sebab turunnya, pengumpulan al-Quran dan urutan-urutannya, pengetahuan
tentang ayat-ayat makkiyah dan madaniyah, nasikh mansukh, muhkan dan mutasyabih
dan hal-hal lain yang ada hubungannya dengan al-Quran.[5]
Sedangkan al-Quran menurut istilah adalah
firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang memiliki
kemu’jizatan lafal, membacanya bernilai ibadah, diriwayatkan secara mutawatir,
yang ditulis dalam mushaf, dimulai dari surah al-Fatihah dan berakhir dengan
surah an-Nas. (Muhammad Abu Syahbah: 1992).
Adapun definisi Quran menurut M. Qurais Sihab
adalah firman-firman Allah SWT yang disampaikan oleh malaikat Jibril sesuai
redaksinya kepada Nabi Muhammad SAW, dan diterima oleh umat Islam secara
tawatir.[6]
Berdasarkan beberapa pengertian ulum dan
al-Quran yang telah dikemukakan di atas, maka ulum yang didasarkan
kepada al-Quran memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan
sejumlah ilmu yang berhubungan dengan al-Quran.
Ulumul Quran menurut Manna Khalil al-Qaththan
(1973) adalah ilmu yang mncakup pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan
al-Quran, dari segi sebab turunya, pengumpulan dan urutan-urutannya,
pengetahuan tentang ayat-ayat makkiyah dan madaniyah, nasikh dan mansukh,
muhkan dan mutasyabih. Sementara al-Zarqani (tanpa tahun) memberikan definisi
yang tidak jauh beda dengannya, bahwa ulumul Quran adalah beberapa pembahasan
yang berhubungan dengan al-Quran dari segi turunya, susunannya, pengumpulannya,
penulisannya, bacaannya, tafsirannya, kemu’jizatannya, nasikh mansukh,
penolakan dari hal-hal yang menimbulkan keraguan terhadap-Nya dan sebagainya.
Dua defini tentang ulumul Quran di atas pada
dasarnya tidak memiliki perbedaan yang berarti. Keduanya justru sepakat dalam
dua hal penting, yaitu: Pertama, bahwa ulumul Quran adalah sejumlah ilmu
pengetahuan yang membahas tentang al-Quran. Kedua, masing-masing membuka
peluang kemungkinan masuknya aspek lain ke dalam pembahasan ulumul Quran. Dalam
artian, keduanya tidak memberikan batasan yang pasti tentang jumlah ilmu-ilmu
yang masuk dalam kategori ulumul Quran.
C.
Sejarah dan Perkembangan Ulum al-Quran.
Istilah Ulum al-Quran mulai muncul sekitar abad ke 3, tetapi sebagian ulama istilah ini lahir
sebagai ilmu yang berdiri sendiri pada abad ke 5. Karena ulumul Quran dalam
arti, sejumlah ilmu yang membahas tentang al-Quran, baru muncul dalam karya Ali
bin Ibrahim al-Hufiy (w. 340), yang berjudul, al-Burhan Fi Ulum al-Quran.[7]
Selanjutnya, pada abad ke 6, Ibn al-Jauzi (w.
597) menyusun kitab Funun al-Afnan Fi Ulum al-Quran, dan kitab al-Mujtaba
Fi Ulum Ta’allaq Bi al-Quran. Selanjutnya disusul oleh Alamuddin
al-Syakhawi (w. 641) pada abad ke 7 dengan kitabnya yang berjudul Jamal
al-Qura Wa Kama al-Iqara, kemudian Abu Syamah (w. 665) menyusun kitab al-Mursyid
al-Wajid fi Ma Yata’allaq al-Qura al-‘Aziz. Pada abad ke 8, al-Zarkasyi (w.
794) menyusun kitab al-Burhan fi Ulum al-Quran. Pada abad ke 9,
Jalaluddin al-Balqani (w. 824) menyusun kitab Mawaqi’i al-Ulum fi Mawaqi’i
al-Nujum. Kemudian pada masa ini pula, al-Suyuthi (w. 911) juga menyusun
kitab al-Tahbir fi Ulum al-Tafsir dan al-Itqan fi Ulum al-Quran.[8]
Setelah wafatnya al-Suyuthi, seolah-olah
perkembangan Ulum al-Quran telah mencapai puncaknya, sehingga tidak terlihat
penulis-penulis yang memiliki kemampuan seperti beliau. Hal ini menurut Ramli
Abdul Wahid (1994) disebabkan karena meluasnya sikap taklid di kalangan umat
Islam, yang dalam sejarah ilmu-ilmu agama umumnya mulai berlangsung setelah
masa al-Suyuthi (awal abad ke 10) sampai akhir abad ke 13.[9]
BAB III
MENGETAHUI BIOGRAFI JANE DAMMEN MCAULIFFE DAN PANDANGANNYA TERHADAP ILMU EKSEGESIS
- Biografi Singkat Jane Dammen Mcauliffe.
Jane Dammen
Mcauliffe merupakan salah satu tokoh internasional yang ahli dalam kajian
al-Quran, sejarah Islam, dan perbandingan agama. Banyak karyanya baik berupa
buku maupun artikel yang menjadi saksi bahwa dia memang ahli di bidang
tersebut. Dalam bidang al-Quran misalnya, Mcauliffe menulis buku yang cukup
fenomenal yaitu “Qur’anic Christians: An Analysis Of Classical And Modern
Exegesis”. Dan dari karya itu pula dia dikenal sebagai tokoh orientalis yang
memiliki concern dalam bidang interreligious. Sedangkan dalam
bidang sejarah Islam, setidaknya dia telah mencurahkan dirinya untuk menelaah
kitab karangan Ath-Thabari yang berjudul “Tarikh al-Muluk”.[10]
Ia menggapai BA dalam bidang philosofhy and classic studies di
Trinity Collage Washington, D.C. kemudian gelar MA dalam studi agama dan Ph.D
dalam bidang studi islamic studies dia peroleh dari universitas Toronto.
Dia dinikahi oleh Dr. Dennis Mcauliffe, seorang ahli dalam literatur Italia abad
pertengahan di Georgetown University, yang kemudian diberkahi empat orang anak.[11]
Dari beberapa
kajian yang telah dia tekuni, Mcauliffe kemudian dikenal sebagai seorang
orientalis yang pakar dalam bidang agama dan sejarah Islam. Sebagai contoh
tatkala beliau menulis tentang keberagamaan atau hubungan antara Islam dan
Kristen, dia melandaskan kajiannya pada al-Quran dan tafsirnya. Sehingga wajar
jika dia menguasai banyak hal tentang tafsir dan para penafsirnya, khususnya
tentang ayat-ayat interreligious.[12]
- Ilmu Eksegesis Dalam Pandangan Jane Dammen Mcauliffe.
Tulisan ini akan membahas bagaimana penelitian tentang nalar Islam dalam
displin yang secara sederhana dapat disebut sebagai orientalisme tentang studi
Quran. Studi yang dilakukan oleh Jane Dammen Mcauliffe tersebut setidaknya
mengambarkan dua hal penting: Pertama, bagaimana nalar al-Suyuthi,
seorang serjana al-Quran terkemuka al-Quran merepresentasikan nalar keserjanaan
Islam klasik-skolastik. Kedua, memberi kita contoh cara kerja
orientalisme dalam memikirkan tradisi Islam hingga kini. Tulisan ini akan
memaparkan sejumlah temuan Mcauliffe dalam membuktikan adanya dependensi
al-Suyuthi terhadap berbagai penulis, pemikiran, dan karya lain pada masanya,
terutama pada al-Zarkasyi dengan al-Burhan-nya, beserta sejumlah
penyebabnya. Dalam artikel yang dia tulis, oleh Mcauliffe, dijadikan argumen
dalam memahami hakikat “kurangnya kreativitas” yang dijadikan karakteristik nalar
keserjanaan klasik-skolastik muslim pada saat itu, suatu masa yang sering
dirujuk sebagai periode tertutupnya pintu ijtihad.
1.
Dependensi.
Dalam artikelnya, Exegetical Sciences, Mcauliffe menceritakan bahwa
kedua karya ilmu tafsir, yaitu tafsir yang ditulis oleh Badruddin al-Zarkasyi, al-Burhan
fi Ulum al-Quran, dan yang selanjutnya adalah Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqan
fi Ulum al-Quran, yang menurut Mcauliffe mewakili puncak klasik dari proses
membangun disiplin ilmu.[13]Hubungan
kedua karya ini dimulai dengan sebuah kisah penemuan akademis dan ketidak
sempurnaan seorang penulis saat melihat usahanya mengelabuhi. Seperti
al-Suyuthi ketika menceritakan kisah ini dihalaman pertama kitab al-Itqan,
mudah untuk mengenali perasaan campur aduk bahwa penemuan semacam itu akan
dilakukan oleh ilmuan siapapun. Dengan menggunakan format pengantar formula,
al-Suyuthi memulai itqan dengan ratapan karena tidak ada pekerjaan dalam ulumul
Quran yang bisa dibandingkan dengan yang tersedia untuk ilmu hadis.[14]
Karakteristik masa al-Suyuthi berbeda dengan situasi intelektual masa
tadwin (abad ke 3 dan seterusnya). Periode ini mengambarkan suatu pembentukan
yang oleh Nollin disebut sebagai konservative tradisionalimyang
mempunyai ciri, pertama, adanya pola yang sama dalam mengukuhkan
otoritas intelektual di kalangan sarjana muslim masa itu, terutama ketika
merasa perlunya merujuk ke belakang (sanad) agar sesuai dengan sesuatu yang
dikatakan oleh otoritas keilmuan sebelumnya. Kedua, adanya pengakuan
konsensus dalam praktek (ijma’), dalam pengertian bahwa kerangka berfikir partikular
tiap individu muslim saat itu, mengalami tekanan untuk menyesuaikan diri dari
otoritas sebelumnya, sehingga mendorong limitasi inisiatif personal karena
menjadi faktor penting dalam setiap diskusi keilmuan.[15]
Hasil periode ini demikian luar biasa dengan keberhasilan membentuk suatu
yang Nollin sebut sebagai “Corpus of Conservative Tradisionalism”. Dari
sana lahir korpus hadis seperti karya al-Bukhari, Muslim dan sebagainya, yang
diperoleh dari uasaha mensortir, mengumpulkan dan mengevaluasi materi-materi
riwayat ke dalam kitab-kitab sohih. Di bidang studi al-Quran, muncul korpus
tafsir yang dipelopori al-Thabari[16],
dengan berusaha menyusun koleksi setara dengan al-Bukhari yang berisikan
opini-opini eksegetis awal dengan otorisasi pada sanad lengkap yang sampai pada
Nabi atau paling tidak (sahabat) yang paling dekat dengannya. Sementara dalam
bidang teologi, muncul Imam al-Asy’ari yang meletakkan pondasi obsolutisme teologi
dokmatis, dan akhirnya al-Ghazali yang mengukuhkan pondasi mistisme ortodoks,
kurang dua abad setelahnya.[17]
Al-Suyuthi berkeinginan kuat menyajikan sesuatu karya yang komprehensif
mengenai uluml Quran sebagaimana layaknya yang dicapai dalam ulumul Hadis.
Dalam hal ini, al-Suyuthi kecewa terhadap literatur yang tersedia pada masaanya,
sebab lebih parsialistik.[18]
Bahkan, al-Suyuthi telah menulis al-Tahbir fi Ulum al-Tafsir (setebal
872 halaman) sebelum menemukan al-Burhan.[19]
Namun demikian, setelah membaca al-Burhan, al-Suyuthi mengaku menemukan
celah yang memungkinkannya menulis karya insklopediknya sendiri. Demikianlah
lahirlah al-Itqan, yang mana janji al-Suyuthi lebih terorganisasi dengan baik
dari pada pendahulunya, dengan materi tambahan[20]
“untuk menyenangkan para pendengarnya”.[21]
2.
Apresiasi al-Quran Terhadap Agama Selain Islam.
Di antara bagian awal al-Suyuthi, yang memperlakukan mode wahyu, ada yang
berjudul , “Apa yang diwahyukan kepada beberapa Nabi (awal) dan apa yang
diwahyukan kepada siapa pun sebelum Nabi (Muhammad)”.[22]
Dalam halaman-halaman tersebut, menurutnya, banyak mengumpulkan sejumlah hadis,
di antaranya banyak dikaitkan dengan Ibn Abbas (w. 687), yang umumnya
dikreditkan dengan peran formatif dalam tradisi eksegetis yang baru lahir.[23]
Al-Suyuthi quotes Abu al-Qasim al-Tabrani (w. 360/971) menyampaikan pernyataan
kenabian yang disampaikan oleh Ibn Abbas, “Untuk masa-masa bencana komunitas
saya telah diberi sesuatu yang tidak dimiliki oleh komunitas lain: “To God
we belong and to him will we return”.(Q 2:156)
Berbelok kepada ayat-ayat Quranicyang juga diwahyukan kepada para
Nabi sebelumnya, yang dikutip pusat utamanya terutama pada Q 87 dan Q 53,
membuktikan bahwa ini, atau yang setara, dapat ditemukan dalam kitab suci (suhuf)
tentang Abraham dan Musa.[24]jadi
menurut Mcauliffe tidak ada perbedan yang begitu signifikan antara agama yang
ia anut (Kristen) dengan Islam itu sendiri. Sebab, karakter-karakter tentang
agama Kristen telah dijelaskan sendiri dalam al-Quran. Al-Quran menyebut umat
keristen sebagai umat yang tunduk kepada Tuhan dan menghormati wahyu Tuhan (QS.
Ali Imran, (3): 199); orang yang beriman (QS. Al-Qasas (28): 52); orang yang
penyantun dan penyayang, bukan orang yang arogan (QS. Al-Maidah (5): 82); berpaling dari menyembah berhala(QS.
Al-Qasas (28): 55); menerima kebenaran (QS. Al-Maidah (5): 83); dan sebagainya.
seorang Keristen tidak akan keberatan menerima pujian-pujian tersebut. Ia
menjelaskan bahwa, qur’anic christians, Kristen versi al-Quran, bisa
diterima meskipun oleh orang Kristen itu sendiri.[25]
Dalam menjelajahi misi ketuhanan, al-Quran sebagai wahyu yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad pada dasarnya mempunyai istilah self definition (pendefinisian
diri) atau self consciousness.[26] Yakni pemahaman yang dibentuk untuk membangun
identitas tersemat dalam dirinya sendiri.self definitionbertujuan untuk
membangun pandangan dunia terhadap al-Quran. Bagaimana fungsi al-Quran berada
di tengah-tengah masyarakat. Dan dalam posisi apa hubungan antara al-Quran
dengan kitab-kitab sucinya.[27]
Al-Quran memang memiliki sejumlah ayat yang menyebutkan beberapa Vigur dalam
Bible, seperti Adam, Musa, Isa, Maryam dan sebagainya. al-Quran juga dalam
beberapa tempat menyebut komunitas beragama lainnya seperti alladzina hadu,
al-nashara, dan sebagainya. inilah yang dimaksudkan Mcauliffe melalui
kategorinya.[28]
Selanjutnya, bagaimanakah Kristen versi al-Quran, The Qur’anic
Christiand?. Ia menjelaskan bahwa melalui tujuh ayat tersebut, al-Quran
telah memberikan sanjungan kepada Kristen. Selain melakukan klasifikasi,
ayat-ayat tersebut menyelipkan pujuan-pujian. Beberapa karakter baik
disebutkan, seperti tunduk kepada Tuhan (amana billah), menghormati
wahyu Tuhan (la yasytaruna bi ayatillahi tsamanan qalila), dan sebagainya.
Ke dua pola ini, klasifikasi dan karakterisasi, menjadi satu elemen yang
dramatis dari sudut pandang kesusastraan, menurut Mcauliffe.[29]
Dalam kerangka inilah Mcauliffe mencoba menelaah al-Quran dengan persfektif
interreligious understanding. Apakah benar Islam (al-Quran) kaum Nasrani
sebgai agama yang korup dan tidak benar. Atau justru klaim tersebut dimunculkan
oleh para pembaca al-Quran sendiri. Isu atau promlem inilah yang diangkat dalam
disertasinya yang berjudul, “Qur’anic Christians An Analysis Of Classical
and Modern Exegesis”.[30]
Dalam mengkaji tujuh ayat tersebut, langkah metodologi yang ditempuh
Mcauliffe adalah dengan menelaah tafsir.[31]
Baginya, tafsir al-Quran telah mengendalikan dan membentuk konfigurasi
hermeneutikal tersendiri, sehingga menghasilkan cara pandang yang berbeda
tentang Kristen.[32]
Sebagai akibatnya, umat Kristen tidak bisa menemukan dirinya dalam
penjelasan-penjelasan tafsir tersebut. Tafsir-tafsir telah membatasi dan
mempersempit kategori kristen, bahwa hanya sebagian kecil dari mereka yang bisa
dianggap orang yang beriman secara benar.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Manna, Mabahits Fi Ulum al-Quran, (Bairut: Manshurah al-‘Ashr
al-Hadis, 1973)
Al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum
al-Quran, Vol. I, (Bairut: Dar al-Fikr, 1967)
Al-Zarqani, Manahil al-;Irfan
Fi Ulum al-Quran, (Mesir: Isa al-Bab al-Halabi, t.th)
Al-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an,
(Beirut-Lebanon), Pdf.
Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum
Al-Qur’an, Pdf.
Iwanibel,Fejrian Yazdajird,
“Kontribusi Pemikiran Jane Dammen Mcauliffe Terhadap Kerukunan Antar Umat
Beragama” dalam Studi Ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 15, No. 2, Juli
2014.
Lukman, Fadhli, “Ayat-Ayat
Perdamaian; Dekonstruksi Tafsir Ala Jane Dammen Mcauliffe” dalam Jurnal
Esensia, Vol. XIV, No. 2, Oktober 2013.
Mcauliffe, Jane Dammen, “Exegetical Sciences”dalam The Blackwell
Companion To The al-Quran, (Australia: BLACKWELL PUBLISHING, 2006)
______________________, Qur’anic
Christian; An Analysis Of Classical And Modern Eksegesis, (New York:
Cambridge University Press, 1991)
Wahyuddin dan M. Syaifullah,
“Ulum al-Quran, Sejarah dan Perkembangannya” dalam Jurnal Sosial Humaniora, Vol.
6 No. I, Juni 2013.
Claudia Gianni, “Bryn Mawr Names Dean of
Georgetown University's College ofArts and Sciences President-Elect” dalam http://www.brynmawr.edu/news/2008-02-07/mcauliffe.shtml. Diakses pada 16 November 2017.
Revew Desertasi atau Tesis dalam Jurnal
Studi al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2016)
[1]Wahyuddin dan M. Syaifullah, “Ulum al-Quran,
Sejarah dan Perkembangannya” dalam Jurnal Sosial Humaniora, Vol. 6 No.
I, Juni 2013. Hlm. 20
[2]Fejrian Yazdajird Iwanibel, “Kontribusi Pemikiran
Jane Dammen Mcauliffe Terhadap Kerukunan Antar Umat Beragama” dalam Studi
Ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 15, No. 2, Juli 2014. Hlm. 328
[3] Al-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut-Lebanon),
hlm. 94-95, Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, hlm. 228. Pdf
[4] Ibid., Al-Zarkasyi, hlm. 228-230.
[5]Manna al-Qathtan, Mubahits Fi Ulum al-Quran, (Bairut:
Manshurah al-‘Ashr al-Hadis, 1973), Hlm. 15.
[6]Wahyuddin dan M. Syaifullah, “Ulum al-Quran,
Sejarah dan Perkembangannya”.... Hlm. 22
[7]Al-Zarqani, Manahil al-;Irfan Fi Ulum al-Quran,
(Mesir: Isa al-Bab al-Halabi, t.th), Hlm. 30. Kajian ulumul Quran mengalami
perkembangan yang cukup pesat dari waktu ke waktu. Perkembangan ulumul Quran
diawali dengan upaya menyusun tata bahasa Arab sesuai dengan naskah al-Quran.
Upaya ini dapat dikatakan sebagai embrio lahirnya ilmu i’rab al-Quran.
[8]Wahyuddin dan M. Syaifullah, “Ulum al-Quran,
Sejarah dan Perkembangannya”.... Hlm. 28
[9]Ibid.
[10] Fejrian Yazdajird Iwanabel, “Kontribusi Pemikiran Jane Dammen
Mcauliffe Terhadap Kerukunan Antar Umat Beragama” dalam Jurnal Studi
Ilmu-Ilmu al-Quran dan Hadis, Vol. XV, 2014. Hlm. 322-323
[11] Claudia Gianni, “Bryn Mawr Names Dean of Georgetown University's
College ofArts and Sciences President-Elect” dalam http://www.brynmawr.edu/news/2008-02-07/mcauliffe.shtml. Diakses pada 16 November 2017.
[12]Ibid.
[13] Jane Dammen Mcauliffe, “Exegetical Sciences”dalam The Blackwell Companion To
The al-Quran, (Australia: BLACKWELL PUBLISHING, 2006), hlm. 403-404.
Berbeda dengan Nollin. Ia lebih menyebutnya bahwa, pada masa al-Suyuthi, oleh
Nollin, dibedakan dengan dua masa sebelumnya, yakni masa formatif dan masa
tadwin. Lihat Revew Desertasi atau Tesis dalam Jurnal Studi al-Quran, (Jakarta:
Lentera Hati, 2016), Hlm. 151-152
[15]Liat Ulumul Quran; Revew
Desertasi atau Tesis dalam Jurnal Studi al-Quran, (Jakarta: Lentera
Hati, 2016),Hlm. 152
[16]Setelah kompilasi tafsir al-Thabari berkembanglah
studi al-Quran dengan tipologi: 1. Materimateri sektarian sesua dengan
partikular point of view (al-Zujaj, al-Qurthubi, al-Zamakhsyari, dan
sebagainya). 2. Cabang tertentu disiplin ilmu al-Quran seperti: variasi bacaan,
i’jaz, struktur gramatikal, nasikh mansukh, sabab nuzul), dan sebagainya.
[19]Liat Ulumul Quran; Revew
Desertasi atau Tesis dalam Jurnal Studi al-Quran, (Jakarta: Lentera
Hati, 2016),Hlm. 156
[21]Al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Quran, Vol.
I, (Bairut: Dar al-Fikr, 1967), Hlm. 14
[23]Ibid.
[24]Ibid.
[25]Jane Dammen Mcauliffe, Qur’anic Christian; An
Analysis Of Classical And Modern Eksegesis, (New York: Cambridge University
Press, 1991),Hlm. 286
[28]Fadhli Lukman, “Ayat-Ayat Perdamaian; Dekonstruksi
Tafsir Ala Jane Dammen Mcauliffe” dalam Jurnal Esensia, Vol. XIV, No. 2,
Oktober 2013. Hlm. 226
[32]Jane Dammen Mcauliffe, Qur’anic Christian...
Hlm. 290