Sunday, March 11, 2018

PANDANGAN JANE DAMMEN MCAULIFFE TENTANG ILMU EKSEGESIS

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Pendahuluan.
Al-Quran merupakan sumber utama ajaran Islam, dan juga merupakan pedoman hidup bagi setiap manusia. Al-Quran bukan sekedar memuat petunjuk tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesama, bahkan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Dengan demikian, untuk dapat memahami ajaran Islam secara sempurna, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah memahami al-Quran.[1]
Sebagai kitab suci Islam, ternyata al-Quran tidak hanya dipelajari, difahami, diresepsi oleh orang Islam saja, banyak dari kalangan sarjana non-muslim yang begitu serius belajar Islam, dalam hal ini adalah kitab suci al-Quran. Mereka mengkaji kitab suci al-Quran ini dengan melalui cara serta pendekatan yang berbeda-beda. Ada pula yang mempelajari kitab al-Quran bukan karena mereka percaya bahwa ia adalah firman Tuhan yang sakral yang suci dari campur tangan siapapun, sebaliknya penelitian mereka terhadap kitab suci al-Quran ini didasari pada kebencian mereka terhadap Islam. Karena selama ini mereka percaya bahwa al-Quran-lah selama ini yang telah menghancurkan pemahaman agama-agama sebelum Islam (Baca agama). Berbeda dengan salah satu dari kalangan orientalis, sebut saja Jane Dammen Mcauliffe, yang pada saat bersamaan juga belajar Islam, artinya meneliti al-Quran, meyakini bahwa al-Quran adalah sebagai kalam Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.[2]
Makalah ini mencoba ingin mengetahui bagaimana cara orientalis mempelajari tafsir, terutama dalam hal ini Jane Dammen Mcauliffe, salah seorang spesialis dalam studi Islam dengan perhatian utamanya adalah al-Quran serta sejarah interpretasinya. Dengan kata lain, bagaimana bingkai berfikir Mcauliffe dalam memahami kajian tafsir.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Proses turunnya Al-Qur’an
Adapun tentang Kaifiyyat Al-Qur’an itu diturunkan telah terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama’. Dalam hal ini ada tiga pendapat: Pertama, Al-Qur’an diturunkan ke langit dunia pada malam lailatul qadr sekaligus dari awal sampai akhir. Kemudian diturunkan dalam waktu 20 tahun atau 23 tahun  atau 25 tahun berdasarkan pada perselisihan yang terjadi tentang berapa lama nabi bermukim di Mekkah sesudah beliau diangkat menjadi rosul. Kedua, Al-Qur’an diturunkan ke langit dunia dalam 20 kali lailatul qadr dalam 20 tahun atau 23 lailatul qadr dalam 23 tahun atau 25 kali lailatul qadr dalam 25 tahun. Ketiga, Al-Qur’an itu permulaan turunnya ialah malam lailatul qadr, kemudian diturunkan setelah itu dengan berangsur-angsur dalam berbagai waktu.[3]
Sedangkan proses turunnya Al-Qur’an kepada nabi Muhammad SAW melalui tiga tahap, yaitu: Pertama, Al-Qur’an turun secara sekaligus dari Allah ke Luh Mahfudh, yaitu suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah. Kedua, al-Qur’an diturunkan dari Lauh Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah (tempat yang berada di langit dunia). Ketiga, Al-Qur’an diturunkan dari Baitul ‘Izzah ke dalam hati Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril dengan cara berangsur-angsur.[4]
B.     Definisi Ulumul Quran.
Secara etimologi, istilah Ulumul Quran berasal dari bahasa arab yakni Ulum dan al-Quran. Lafadz ulum merupakan bentuk jamak dari ilm. Ilm memiliki maka al-Fahmu wa al-Istidrak yang berarti pemahaman dan pengetahuan. Secara terminologis, istilah ulumul Quran didefinisikan oleh para ulama secara beragam. Manna al-Qaththan, merumuskan pengertian Ulumul Quran sebagai ilmu yang mencakup berbagai kajian yang berkaitan dengan kajian-kajian al-Quran dari segi pegetahuan tentang sebab-sebab turunnya, pengumpulan al-Quran dan urutan-urutannya, pengetahuan tentang ayat-ayat makkiyah dan madaniyah, nasikh mansukh, muhkan dan mutasyabih dan hal-hal lain yang ada hubungannya dengan al-Quran.[5]
Sedangkan al-Quran menurut istilah adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang memiliki kemu’jizatan lafal, membacanya bernilai ibadah, diriwayatkan secara mutawatir, yang ditulis dalam mushaf, dimulai dari surah al-Fatihah dan berakhir dengan surah an-Nas. (Muhammad Abu Syahbah: 1992).
Adapun definisi Quran menurut M. Qurais Sihab adalah firman-firman Allah SWT yang disampaikan oleh malaikat Jibril sesuai redaksinya kepada Nabi Muhammad SAW, dan diterima oleh umat Islam secara tawatir.[6]
Berdasarkan beberapa pengertian ulum dan al-Quran yang telah dikemukakan di atas, maka ulum yang didasarkan kepada al-Quran memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan al-Quran.
Ulumul Quran menurut Manna Khalil al-Qaththan (1973) adalah ilmu yang mncakup pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan al-Quran, dari segi sebab turunya, pengumpulan dan urutan-urutannya, pengetahuan tentang ayat-ayat makkiyah dan madaniyah, nasikh dan mansukh, muhkan dan mutasyabih. Sementara al-Zarqani (tanpa tahun) memberikan definisi yang tidak jauh beda dengannya, bahwa ulumul Quran adalah beberapa pembahasan yang berhubungan dengan al-Quran dari segi turunya, susunannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, tafsirannya, kemu’jizatannya, nasikh mansukh, penolakan dari hal-hal yang menimbulkan keraguan terhadap-Nya dan sebagainya.
Dua defini tentang ulumul Quran di atas pada dasarnya tidak memiliki perbedaan yang berarti. Keduanya justru sepakat dalam dua hal penting, yaitu: Pertama, bahwa ulumul Quran adalah sejumlah ilmu pengetahuan yang membahas tentang al-Quran. Kedua, masing-masing membuka peluang kemungkinan masuknya aspek lain ke dalam pembahasan ulumul Quran. Dalam artian, keduanya tidak memberikan batasan yang pasti tentang jumlah ilmu-ilmu yang masuk dalam kategori ulumul Quran.
C.     Sejarah dan Perkembangan Ulum al-Quran.
Istilah Ulum al-Quran mulai muncul sekitar abad ke 3, tetapi sebagian ulama istilah ini lahir sebagai ilmu yang berdiri sendiri pada abad ke 5. Karena ulumul Quran dalam arti, sejumlah ilmu yang membahas tentang al-Quran, baru muncul dalam karya Ali bin Ibrahim al-Hufiy (w. 340), yang berjudul, al-Burhan Fi Ulum al-Quran.[7]
Selanjutnya, pada abad ke 6, Ibn al-Jauzi (w. 597) menyusun kitab Funun al-Afnan Fi Ulum al-Quran, dan kitab al-Mujtaba Fi Ulum Ta’allaq Bi al-Quran. Selanjutnya disusul oleh Alamuddin al-Syakhawi (w. 641) pada abad ke 7 dengan kitabnya yang berjudul Jamal al-Qura Wa Kama al-Iqara, kemudian Abu Syamah (w. 665) menyusun kitab al-Mursyid al-Wajid fi Ma Yata’allaq al-Qura al-‘Aziz. Pada abad ke 8, al-Zarkasyi (w. 794) menyusun kitab al-Burhan fi Ulum al-Quran. Pada abad ke 9, Jalaluddin al-Balqani (w. 824) menyusun kitab Mawaqi’i al-Ulum fi Mawaqi’i al-Nujum. Kemudian pada masa ini pula, al-Suyuthi (w. 911) juga menyusun kitab al-Tahbir fi Ulum al-Tafsir dan al-Itqan fi Ulum al-Quran.[8]
Setelah wafatnya al-Suyuthi, seolah-olah perkembangan Ulum al-Quran telah mencapai puncaknya, sehingga tidak terlihat penulis-penulis yang memiliki kemampuan seperti beliau. Hal ini menurut Ramli Abdul Wahid (1994) disebabkan karena meluasnya sikap taklid di kalangan umat Islam, yang dalam sejarah ilmu-ilmu agama umumnya mulai berlangsung setelah masa al-Suyuthi (awal abad ke 10) sampai akhir abad ke 13.[9]


BAB III
MENGETAHUI BIOGRAFI JANE DAMMEN MCAULIFFE DAN PANDANGANNYA TERHADAP ILMU EKSEGESIS
  1. Biografi Singkat Jane Dammen Mcauliffe.
Jane Dammen Mcauliffe merupakan salah satu tokoh internasional yang ahli dalam kajian al-Quran, sejarah Islam, dan perbandingan agama. Banyak karyanya baik berupa buku maupun artikel yang menjadi saksi bahwa dia memang ahli di bidang tersebut. Dalam bidang al-Quran misalnya, Mcauliffe menulis buku yang cukup fenomenal yaitu “Qur’anic Christians: An Analysis Of Classical And Modern Exegesis”. Dan dari karya itu pula dia dikenal sebagai tokoh orientalis yang memiliki concern dalam bidang interreligious. Sedangkan dalam bidang sejarah Islam, setidaknya dia telah mencurahkan dirinya untuk menelaah kitab karangan Ath-Thabari yang berjudul “Tarikh al-Muluk”.[10]
Ia menggapai BA dalam bidang philosofhy and classic studies di Trinity Collage Washington, D.C. kemudian gelar MA dalam studi agama dan Ph.D dalam bidang studi islamic studies dia peroleh dari universitas Toronto. Dia dinikahi oleh Dr. Dennis Mcauliffe, seorang ahli dalam literatur Italia abad pertengahan di Georgetown University, yang kemudian diberkahi empat orang anak.[11]
Dari beberapa kajian yang telah dia tekuni, Mcauliffe kemudian dikenal sebagai seorang orientalis yang pakar dalam bidang agama dan sejarah Islam. Sebagai contoh tatkala beliau menulis tentang keberagamaan atau hubungan antara Islam dan Kristen, dia melandaskan kajiannya pada al-Quran dan tafsirnya. Sehingga wajar jika dia menguasai banyak hal tentang tafsir dan para penafsirnya, khususnya tentang ayat-ayat interreligious.[12]
  1. Ilmu Eksegesis Dalam Pandangan Jane Dammen Mcauliffe.
Tulisan ini akan membahas bagaimana penelitian tentang nalar Islam dalam displin yang secara sederhana dapat disebut sebagai orientalisme tentang studi Quran. Studi yang dilakukan oleh Jane Dammen Mcauliffe tersebut setidaknya mengambarkan dua hal penting: Pertama, bagaimana nalar al-Suyuthi, seorang serjana al-Quran terkemuka al-Quran merepresentasikan nalar keserjanaan Islam klasik-skolastik. Kedua, memberi kita contoh cara kerja orientalisme dalam memikirkan tradisi Islam hingga kini. Tulisan ini akan memaparkan sejumlah temuan Mcauliffe dalam membuktikan adanya dependensi al-Suyuthi terhadap berbagai penulis, pemikiran, dan karya lain pada masanya, terutama pada al-Zarkasyi dengan al-Burhan-nya, beserta sejumlah penyebabnya. Dalam artikel yang dia tulis, oleh Mcauliffe, dijadikan argumen dalam memahami hakikat “kurangnya kreativitas” yang dijadikan karakteristik nalar keserjanaan klasik-skolastik muslim pada saat itu, suatu masa yang sering dirujuk sebagai periode tertutupnya pintu ijtihad.
                    1.            Dependensi.
Dalam artikelnya, Exegetical Sciences, Mcauliffe menceritakan bahwa kedua karya ilmu tafsir, yaitu tafsir yang ditulis oleh Badruddin al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Quran, dan yang selanjutnya adalah Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Quran, yang menurut Mcauliffe mewakili puncak klasik dari proses membangun disiplin ilmu.[13]Hubungan kedua karya ini dimulai dengan sebuah kisah penemuan akademis dan ketidak sempurnaan seorang penulis saat melihat usahanya mengelabuhi. Seperti al-Suyuthi ketika menceritakan kisah ini dihalaman pertama kitab al-Itqan, mudah untuk mengenali perasaan campur aduk bahwa penemuan semacam itu akan dilakukan oleh ilmuan siapapun. Dengan menggunakan format pengantar formula, al-Suyuthi memulai itqan dengan ratapan karena tidak ada pekerjaan dalam ulumul Quran yang bisa dibandingkan dengan yang tersedia untuk ilmu hadis.[14]
Karakteristik masa al-Suyuthi berbeda dengan situasi intelektual masa tadwin (abad ke 3 dan seterusnya). Periode ini mengambarkan suatu pembentukan yang oleh Nollin disebut sebagai konservative tradisionalimyang mempunyai ciri, pertama, adanya pola yang sama dalam mengukuhkan otoritas intelektual di kalangan sarjana muslim masa itu, terutama ketika merasa perlunya merujuk ke belakang (sanad) agar sesuai dengan sesuatu yang dikatakan oleh otoritas keilmuan sebelumnya. Kedua, adanya pengakuan konsensus dalam praktek (ijma’), dalam pengertian bahwa kerangka berfikir partikular tiap individu muslim saat itu, mengalami tekanan untuk menyesuaikan diri dari otoritas sebelumnya, sehingga mendorong limitasi inisiatif personal karena menjadi faktor penting dalam setiap diskusi keilmuan.[15]
Hasil periode ini demikian luar biasa dengan keberhasilan membentuk suatu yang Nollin sebut sebagai “Corpus of Conservative Tradisionalism”. Dari sana lahir korpus hadis seperti karya al-Bukhari, Muslim dan sebagainya, yang diperoleh dari uasaha mensortir, mengumpulkan dan mengevaluasi materi-materi riwayat ke dalam kitab-kitab sohih. Di bidang studi al-Quran, muncul korpus tafsir yang dipelopori al-Thabari[16], dengan berusaha menyusun koleksi setara dengan al-Bukhari yang berisikan opini-opini eksegetis awal dengan otorisasi pada sanad lengkap yang sampai pada Nabi atau paling tidak (sahabat) yang paling dekat dengannya. Sementara dalam bidang teologi, muncul Imam al-Asy’ari yang meletakkan pondasi obsolutisme teologi dokmatis, dan akhirnya al-Ghazali yang mengukuhkan pondasi mistisme ortodoks, kurang dua abad setelahnya.[17]
Al-Suyuthi berkeinginan kuat menyajikan sesuatu karya yang komprehensif mengenai uluml Quran sebagaimana layaknya yang dicapai dalam ulumul Hadis. Dalam hal ini, al-Suyuthi kecewa terhadap literatur yang tersedia pada masaanya, sebab lebih parsialistik.[18] Bahkan, al-Suyuthi telah menulis al-Tahbir fi Ulum al-Tafsir (setebal 872 halaman) sebelum menemukan al-Burhan.[19] Namun demikian, setelah membaca al-Burhan, al-Suyuthi mengaku menemukan celah yang memungkinkannya menulis karya insklopediknya sendiri. Demikianlah lahirlah al-Itqan, yang mana janji al-Suyuthi lebih terorganisasi dengan baik dari pada pendahulunya, dengan materi tambahan[20] “untuk menyenangkan para pendengarnya”.[21]
                    2.            Apresiasi al-Quran Terhadap Agama Selain Islam.
Di antara bagian awal al-Suyuthi, yang memperlakukan mode wahyu, ada yang berjudul , “Apa yang diwahyukan kepada beberapa Nabi (awal) dan apa yang diwahyukan kepada siapa pun sebelum Nabi (Muhammad)”.[22] Dalam halaman-halaman tersebut, menurutnya, banyak mengumpulkan sejumlah hadis, di antaranya banyak dikaitkan dengan Ibn Abbas (w. 687), yang umumnya dikreditkan dengan peran formatif dalam tradisi eksegetis yang baru lahir.[23] Al-Suyuthi quotes Abu al-Qasim al-Tabrani (w. 360/971) menyampaikan pernyataan kenabian yang disampaikan oleh Ibn Abbas, “Untuk masa-masa bencana komunitas saya telah diberi sesuatu yang tidak dimiliki oleh komunitas lain: “To God we belong and to him will we return”.(Q 2:156)
Berbelok kepada ayat-ayat Quranicyang juga diwahyukan kepada para Nabi sebelumnya, yang dikutip pusat utamanya terutama pada Q 87 dan Q 53, membuktikan bahwa ini, atau yang setara, dapat ditemukan dalam kitab suci (suhuf) tentang Abraham dan Musa.[24]jadi menurut Mcauliffe tidak ada perbedan yang begitu signifikan antara agama yang ia anut (Kristen) dengan Islam itu sendiri. Sebab, karakter-karakter tentang agama Kristen telah dijelaskan sendiri dalam al-Quran. Al-Quran menyebut umat keristen sebagai umat yang tunduk kepada Tuhan dan menghormati wahyu Tuhan (QS. Ali Imran, (3): 199); orang yang beriman (QS. Al-Qasas (28): 52); orang yang penyantun dan penyayang, bukan orang yang arogan (QS. Al-Maidah (5): 82); berpaling dari menyembah berhala(QS. Al-Qasas (28): 55); menerima kebenaran (QS. Al-Maidah (5): 83); dan sebagainya. seorang Keristen tidak akan keberatan menerima pujian-pujian tersebut. Ia menjelaskan bahwa, qur’anic christians, Kristen versi al-Quran, bisa diterima meskipun oleh orang Kristen itu sendiri.[25]
Dalam menjelajahi misi ketuhanan, al-Quran sebagai wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad pada dasarnya mempunyai istilah self definition (pendefinisian diri) atau self consciousness.[26]  Yakni pemahaman yang dibentuk untuk membangun identitas tersemat dalam dirinya sendiri.self definitionbertujuan untuk membangun pandangan dunia terhadap al-Quran. Bagaimana fungsi al-Quran berada di tengah-tengah masyarakat. Dan dalam posisi apa hubungan antara al-Quran dengan kitab-kitab sucinya.[27] Al-Quran memang memiliki sejumlah ayat yang menyebutkan beberapa Vigur dalam Bible, seperti Adam, Musa, Isa, Maryam dan sebagainya. al-Quran juga dalam beberapa tempat menyebut komunitas beragama lainnya seperti alladzina hadu, al-nashara, dan sebagainya. inilah yang dimaksudkan Mcauliffe melalui kategorinya.[28]
Selanjutnya, bagaimanakah Kristen versi al-Quran, The Qur’anic Christiand?. Ia menjelaskan bahwa melalui tujuh ayat tersebut, al-Quran telah memberikan sanjungan kepada Kristen. Selain melakukan klasifikasi, ayat-ayat tersebut menyelipkan pujuan-pujian. Beberapa karakter baik disebutkan, seperti tunduk kepada Tuhan (amana billah), menghormati wahyu Tuhan (la yasytaruna bi ayatillahi tsamanan qalila), dan sebagainya. Ke dua pola ini, klasifikasi dan karakterisasi, menjadi satu elemen yang dramatis dari sudut pandang kesusastraan, menurut Mcauliffe.[29]
Dalam kerangka inilah Mcauliffe mencoba menelaah al-Quran dengan persfektif interreligious understanding. Apakah benar Islam (al-Quran) kaum Nasrani sebgai agama yang korup dan tidak benar. Atau justru klaim tersebut dimunculkan oleh para pembaca al-Quran sendiri. Isu atau promlem inilah yang diangkat dalam disertasinya yang berjudul, “Qur’anic Christians An Analysis Of Classical and Modern Exegesis”.[30]
Dalam mengkaji tujuh ayat tersebut, langkah metodologi yang ditempuh Mcauliffe adalah dengan menelaah tafsir.[31] Baginya, tafsir al-Quran telah mengendalikan dan membentuk konfigurasi hermeneutikal tersendiri, sehingga menghasilkan cara pandang yang berbeda tentang Kristen.[32] Sebagai akibatnya, umat Kristen tidak bisa menemukan dirinya dalam penjelasan-penjelasan tafsir tersebut. Tafsir-tafsir telah membatasi dan mempersempit kategori kristen, bahwa hanya sebagian kecil dari mereka yang bisa dianggap orang yang beriman secara benar.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththan, Manna, Mabahits Fi Ulum al-Quran, (Bairut: Manshurah al-‘Ashr al-Hadis, 1973)
Al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Quran, Vol. I, (Bairut: Dar al-Fikr, 1967)
Al-Zarqani, Manahil al-;Irfan Fi Ulum al-Quran, (Mesir: Isa al-Bab al-Halabi, t.th)
Al-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut-Lebanon), Pdf.
Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Pdf.
Iwanibel,Fejrian Yazdajird, “Kontribusi Pemikiran Jane Dammen Mcauliffe Terhadap Kerukunan Antar Umat Beragama” dalam Studi Ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 15, No. 2, Juli 2014.
Lukman, Fadhli, “Ayat-Ayat Perdamaian; Dekonstruksi Tafsir Ala Jane Dammen Mcauliffe” dalam Jurnal Esensia, Vol. XIV, No. 2, Oktober 2013.
Mcauliffe, Jane Dammen, “Exegetical Sciences”dalam The Blackwell Companion To The al-Quran, (Australia: BLACKWELL PUBLISHING, 2006)
______________________, Qur’anic Christian; An Analysis Of Classical And Modern Eksegesis, (New York: Cambridge University Press, 1991)
Wahyuddin dan M. Syaifullah, “Ulum al-Quran, Sejarah dan Perkembangannya” dalam Jurnal Sosial Humaniora, Vol. 6 No. I, Juni 2013.
Claudia Gianni, “Bryn Mawr Names Dean of Georgetown University's College ofArts and Sciences President-Elect” dalam http://www.brynmawr.edu/news/2008-02-07/mcauliffe.shtml. Diakses pada 16 November 2017.
Revew Desertasi atau Tesis dalam Jurnal Studi al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2016)



[1]Wahyuddin dan M. Syaifullah, “Ulum al-Quran, Sejarah dan Perkembangannya” dalam Jurnal Sosial Humaniora, Vol. 6 No. I, Juni 2013. Hlm. 20
[2]Fejrian Yazdajird Iwanibel, “Kontribusi Pemikiran Jane Dammen Mcauliffe Terhadap Kerukunan Antar Umat Beragama” dalam Studi Ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 15, No. 2, Juli 2014. Hlm. 328
[3] Al-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut-Lebanon), hlm. 94-95, Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, hlm. 228. Pdf
[4] Ibid., Al-Zarkasyi, hlm. 228-230.
[5]Manna al-Qathtan, Mubahits Fi Ulum al-Quran, (Bairut: Manshurah al-‘Ashr al-Hadis, 1973), Hlm. 15.
[6]Wahyuddin dan M. Syaifullah, “Ulum al-Quran, Sejarah dan Perkembangannya”.... Hlm. 22
[7]Al-Zarqani, Manahil al-;Irfan Fi Ulum al-Quran, (Mesir: Isa al-Bab al-Halabi, t.th), Hlm. 30. Kajian ulumul Quran mengalami perkembangan yang cukup pesat dari waktu ke waktu. Perkembangan ulumul Quran diawali dengan upaya menyusun tata bahasa Arab sesuai dengan naskah al-Quran. Upaya ini dapat dikatakan sebagai embrio lahirnya ilmu i’rab al-Quran.
[8]Wahyuddin dan M. Syaifullah, “Ulum al-Quran, Sejarah dan Perkembangannya”.... Hlm. 28
[9]Ibid.
[10] Fejrian Yazdajird Iwanabel, “Kontribusi Pemikiran Jane Dammen Mcauliffe Terhadap Kerukunan Antar Umat Beragama” dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Quran dan Hadis, Vol. XV, 2014. Hlm. 322-323
[11] Claudia Gianni, “Bryn Mawr Names Dean of Georgetown University's College ofArts and Sciences President-Elect” dalam http://www.brynmawr.edu/news/2008-02-07/mcauliffe.shtml. Diakses pada 16 November 2017.
[12]Ibid.
[13] Jane Dammen Mcauliffe, “Exegetical Sciences”dalam The Blackwell Companion To The al-Quran, (Australia: BLACKWELL PUBLISHING, 2006), hlm. 403-404. Berbeda dengan Nollin. Ia lebih menyebutnya bahwa, pada masa al-Suyuthi, oleh Nollin, dibedakan dengan dua masa sebelumnya, yakni masa formatif dan masa tadwin. Lihat Revew Desertasi atau Tesis dalam Jurnal Studi al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2016), Hlm. 151-152
[14]Jane Dammen Mcauliffe (ed), Exegetical Sciences...,Hlm. 404
[15]Liat Ulumul Quran; Revew Desertasi atau Tesis dalam Jurnal Studi al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2016),Hlm. 152
[16]Setelah kompilasi tafsir al-Thabari berkembanglah studi al-Quran dengan tipologi: 1. Materimateri sektarian sesua dengan partikular point of view (al-Zujaj, al-Qurthubi, al-Zamakhsyari, dan sebagainya). 2. Cabang tertentu disiplin ilmu al-Quran seperti: variasi bacaan, i’jaz, struktur gramatikal, nasikh mansukh, sabab nuzul), dan sebagainya.
[17]Ibid. Hlm. 152-153
[18]Jane Dammen Mcauliffe, “Exegetical Sciences”,... hlm. 404
[19]Liat Ulumul Quran; Revew Desertasi atau Tesis dalam Jurnal Studi al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2016),Hlm. 156
[20]Jane Dammen Mcauliffe, “Exegetical Sciences”,... hlm. 404
[21]Al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Quran, Vol. I, (Bairut: Dar al-Fikr, 1967), Hlm. 14
[22]Jane Dammen Mcauliffe, “Exegetical Sciences”,... hlm. 407
[23]Ibid.
[24]Ibid.
[25]Jane Dammen Mcauliffe, Qur’anic Christian; An Analysis Of Classical And Modern Eksegesis, (New York: Cambridge University Press, 1991),Hlm. 286
[26]Ibid. Hlm. 9
[27] Fejrian Yazdajird Iwanabel, “Kontribusi Pemikiran Jane... Hlm. 328-329
[28]Fadhli Lukman, “Ayat-Ayat Perdamaian; Dekonstruksi Tafsir Ala Jane Dammen Mcauliffe” dalam Jurnal Esensia, Vol. XIV, No. 2, Oktober 2013. Hlm. 226
[29]Ibid.Hlm. 229
[30]Fejrian Yazdajird Iwanabel, “Kontribusi Pemikiran Jane... Hlm. 329-330
[31]Ibid. Hlm. 331
[32]Jane Dammen Mcauliffe, Qur’anic Christian... Hlm. 290