Santri,
Pelajar; Beda dong.
Oleh:
Ashimuddin Musa
(7/2/18)
Pengertian Santri
Membicarakan akhlaq santri, adalah sesuatu yang signifikan.
Sebab santri merupakan kader kelanjutan dalam hal menyampaikan misi nubuweh (kenabian).
Dalam kesehariannya, ia terdoktrin untuk selalu menjaga akhlaq yang baik. Maka
sebagai kelanjutan dari perjuangan para nabi dalam rangka menyebarkan misinya,
yaitu risalah yang diturunkan oleh Allah Swt kepada para nabi, maka sebagai
seorang santri hendaknya mampu menjadi cerminan serta teladan hidup dalam
permasalahan keagamaan ini.
Ditinjau dari struktur katanya, kata santri memiliki makna dan
maksud tertentu, yang secara prinsipnya memiliki beban moral untuk men-syiar-kan
agama Islam. Sementara ditinjau dari segi filosofisnya, kata santri terdiri
dari sekumpulan huruf hijaiyah, yang dari masing-masing hurufnya menyimpan
maksud yang sangat potensial. Adapun yang dimaksudkan dari sekumpulan
huruf-huruf hijaiyah itu adalah sebagai berikut: Sin, Nun, Ta’, Ra’.
Pertama, “Sin”, membentuk struktur suku kata
menjadi “Saabiqul Khair (orang yang berlomba-lomba dalam suatu kebaikan)”.
Dalam versi lain, ada yang mengatakan, “Saabiqul Khairat (berlomba-lomba
menyongsong perkara akhirat)”. Bahwa santri merupakan hamba yang sangat
menekuni di bidang keagamaan. Kedua, “Nun”, merupakan semantik
dari kata “Naaibul Ulama’”. Dalam hal ini, santri sejatinya sebagai
kelanjutan para ulamak di dalam mengembangkan atau mentransmisikan dakwah para ulama; yang dalam
prinsipnya ingin menciptakan tatanan kehidupan yang baik. Ketiga, “Ta’”,
adalah singkatan dari kata “Taarikul Ma’asi (orang yang meninggalkan
maksiat)”. Artinya, bahwa santri adalah seseorang yang senantiasa menjauhi
perkara kemaksiatan. Karenanya, masyarakat lebih mempertimbangkan pesantren
dari pada pendidikan selain pesantren, karena mereka yakin, pendidikan di
pesantren tentu lebih bermutu untuk mencetak kader santri unggulan dalam
menekuni keagamaan. Yang terakhir adalah “Ra’” semantik dari asal suku
kata “Rajaul Ummah (pemimpin umat)”, yang maksudnya adalah, bahwa santri
merupakan panutan dan teladan hidup bagi seluruh umah.
Dengan demikian, pada masing-masing huruf yang terkandung
dalam kalimat “santri” menunjukkan bahwa santri santri adalah tidak sembarang
orang. Ia adalah orang-orang pilihan.
Keterkaitan Agama dengan Akhlaq
Dalam hal ini, kaitannya agama dengan akhlaq sangatlah erat
sekali, ia bahkan menunjukkan dua hal penting yang tidak boleh dilepaskan
apalagi sampai mengesampingkan salah satunya. Agama dan akhlaq sangatlah erat
dan saling melengkapi. Ibarat bak mandi, agama adalah wadah, sementara akhlaq
ibarat air yang mengisi bak mandi. Maka adanya air menjadi sesuatu yang
signifikan adanya. Maka demikian pula dengan agama dan akhlaq, hal ini tiada
lain adalah keinginan untuk mengembalikan peran agama agar lebih
operatif-fungsional; agama bukan semata urusan ibadah mahdah tetapi juga
ghairu mahdah, termasuk di dalamnya ibadah sosial.
Dalam pendidikan budi pekerti, ditanamkan nilai-nilai moral
ke dalam sikap dan perilaku generasi bangsa agar memiliki kesantunan dalam
berinteraksi, bersikap jujur, toleran, disiplin, bersih, penuh kasih sayang,
punya kepenasaran intelektual, dan kreatif. Di sini kepengatahuan agama yang
dipelajari para santri menjadi sumber nilai dan penggerak perilaku mereka.
Dalam struktur ajaran Islam, misalnya, pendidikan akhlaq dan budi pekerti adalah
yang terpenting pengetahuan akidah dasar. Sementara ibadah adalah sarana,
sedangkan tujuan akhirnya adalah akhlaq. Nabi Saw pernah bersabda, “Mu’min yang
paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya,” (HR. abu Daud dan
Ahmad). Dalam hadis lain, “Orang yang paling baik Islamnya adalah yang paling
baik Islamnya adalah akhlaqnya,” (HR. Ahmad).
Pesantren, Santri dan Hubungannya
dengan Akhlaq
Oleh sebab itulah, sampai detik ini, pesantren menjadi
sasaran utama masyarakat karena keistiqomahannya melestarikan budaya religius
yang dari semula diajarkankan di pesantren, dan sampai detik ini eksistensi
pesantren tidak mengalami perubahan dalam menciptakan akhlaq dalam menghiasi
kehidupan, sementara santri (orang yang belajar di pesantren) lebih dipercaya
masyarakat sebagai panutan ketimbang mereka yang tidak pernah nyantri. Sebab
santri dalam kehidupannya dilatih untuk senantiasa tidak melepaskan dari
bersikap jujur dan lebih faham untuk memilih mana antara yang pantas untuk
dikerjakan dan mana yang seharusnya ditinggalkan.
Semua pesantren, mulai dari pesantren regional sampai
tingkat nasional, memiliki visi dan misi yang sama, yaitu sama-sama menegakkan amar
ma’ruf nahi mungkar. Konsep amar ma’ruf nahi mungkar secara normatif
sejalan dengan faham ahlussunnah waljama’ah (aswaja). Faham aswaja
sederhananya adalah faham yang memuat nilai ajaran Alquran dan Hadis. Hadis di
sini adalah perbuatan yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw. Perbuatan Nabi adalah
akhlaq al-karimah/sopan santun (Zaitur Rahem, 2016: 116). Karenanya,
sampai hari ini, pesantren tetap menjadi rujukan utama masyarakat. Karena pesantren
tetap melestarikan tradisi keagamaan agar hal itu tidak punah, misalnya dalam melestarikan
etika yang baik. Tentu, praktek keagamaan yang seperti ini yang selalu terus diupayakan
untuk menjadi kebiasaan paling intim bagi kehidupan santri, adalah sangat
jarang dijumpai di beberapa pendidikan di luar pesantren.
Pengasuh pondok pesantren Annuqayah Latee, K. H.
Abd. A’la, membedakan antara santri dan pelajar. Menurutnya, pelajar
adalah seseorang yang hanya belajar di bangku sekolah dalam rangka mencari
ilmu, sementara santri lebih dari itu, di samping belajar, santri bertujuan
untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhannya, Allah rabbul ‘alamin,
“Perbedaan pelajar dengan santri. Santri itu tidak hanya belajar untuk menuntut
ilmu, tapi juga untuk beribadah kepada Allah Swt”. Dauh beliau dalam tausiyehnya,
kepada seluruh santri Latee selepas berjemaah maghrib di mushalla Pondok
Pesantren Annuqayah Latee (31/1).
Allah Swt mengutus Nabi Muhammad Saw ke muka bumi untuk
memperkenalkan perilaku kehidupan yang baik. Dalam hadis beliau menegaskan, “inama
bu’itstu liutammima makarimal akhlaq (aku diutus ke muka bumi, tidak lain
untuk menyempurnakan akhlaq)”. Sebagai representasi utama umat Islam,
Nabi Muhammad sendiri memberikan teladan hidup yang baik. Beliau mempraktekkan
akhlaq sebagai perilaku dalam kesehariannya, baik akhlaq dalam bersosial,
berdagang, berpolitik, akhlaq dalam pemerintahan, dalam tidur, ketika bangun
sampai akan tidur lagi, beliau tidak pernah lalai dalam mempraktekkan akhlaq. Jauh
dari itu, kepada komunitas keagamaan di luar Islam pun, beliau tidak lepas dari
mempraktekkan akhlaq. Karenanya, akhlaq harus menjadi bagian integral dalam
kehidupan, sebab dengan akhlaq itulah kebaikan manusia bisa diukur. Segala
aktifitas meskipun ringan, yang tanpa dilandasi dengan akhlaq, maka akan sia-sia.
Dari pemaparan di atas, santri menjadi tempat paling sentral
sebagai panutan dalam mengembangkan substansi nilai-nilai moral Islam. Karena
santri sedari pesantren mimang sudah dibiasakan untuk tidak bisa lepas dari
kebiasaan mengimplementasikan akhlaqul karimah, sebab akhlaqul
karimah sejatinya telah dicontohkan oleh Rasulullah, maka akhlaqul
karimah harus menjadi watak atau karakter yang melekat pada diri seorang
santri. Terhadap misi luhur ini, siapa pun harus menjadikan akhlaq ini sebagai
ruh untuk diaktualisaikan dalam bingkai kehidupan sehari-hari. Sementara
santri, hemat penulis, sudah dibiasakan menghiasi kehidupannya dengan akhlaq
sebagai integritas pribadinya. Maka inilah, menurut penulis, kelebihan santri
yang belajar di pesantren, yang tidak ditemukan di luar pesantren.