Saturday, March 3, 2018

PERBEDAAN ANTARA PELAJAR DAN SANTRI

Santri dan Pelajar; Dua Hal yang Berbeda .
Oleh: Ashimuddin Musa









Dalam laporan Jawa Pos Radar Madura edisi Pebruari 2012 mengabarkan, beberapa orang yang mengatas-namakan aliansi guru sukwan dan aktivis PMII, menggelar aksi demonstrasi di depan gedung PKPN, Jalan Rajawali, Sampang. Sementara itu, mentri pendidikan dan kebudayaan (mendikbud), Muhadjir Effendy, pada saat itu sedang menghadiri kota Sampang dalam rangka memberikan pengarahan dan pembinaan langsung pada kepala sekolah di lingkungan dinas pendidikan Sampang. Lukman Hakim, sebagai koordinator lapangan (korlap), kepada mendigbud menyampaikan, bahwa dunia pendidikan di Sampang saat ini tercoreng. Kasus pembunuhan Guru yang dilakukan oleh muridnya sendiri, membuktikan penerapan pendidikan karakter belum berjalan dengan baik.
Selain itu, Lukman juga menyampaikan, konsep fulll day school (FDS) dianggap tidak cocok dipraktekkan di pedesaan Madura: termasuk di Sampang. Lebih lanjut, FDS juga dinilai mengancam keberadaan pendidikan madrasah diniyah (madin). Sebab madin bagi masyarakat dipandang memberikan sumbangan cukup besar terhadap pembentukan karakter, malah terancam dipersempit.
Muhadjir Effendy membenarkan, bahwa apa yang menjadi kekhowatiran mereka bukanlah fiktif, sehingga wajar apabila mereka menekankan pentingnya memperbaiki kualitas pendidikan karakter, agar kasus yang kurang mengindahkan ini tidak terjadi kembali di kota Sampang. Meskipun begitu, dia tidak membenarkan jika dalam program kerja mendigbud menerapkan konsep FDS tersebut. Tetapi dia juga tidak menapikan kalau berapa pendidikan, mimang ada yang mempraktekan full day ini.
Pendidikan merupakan lembaga yang paling strategis dan signifikan untuk menciptakan sosial yang bermartabat secara sistematis, tetapi tantangannya pun cukup besar. Karena itu, di lembaga pendidikan diharapkan mampu menjauhi hal-hal yang dapat mengantarkan para siswa pada perilaku amoral—misalnya, berucap yang tidak sopan. Jauh dari itu, para guru diharapkan mampu menjadi cerminan dalam mewujudkan perilaku yang baik, guna menanamkan krakter yang baik kepada para anak didiknya. Oleh sebab itu, membicarakan pesantren, kaitannya dengan penerapan pendidikan begitu signifikan, yang dengannya tidak ditemukan di pendidikan-pendidikan di luar pesantren.
Pengertian Santri
Membicarakan akhlaq santri, adalah sesuatu yang signifikan. Sebab santri merupakan kader kelanjutan dalam hal menyampaikan misi nubuweh (kenabian). Dalam kesehariannya, ia dididik dan dibina untuk selalu membiasakan menjaga akhlaq yang baik. Maka sebagai kelanjutan dari perjuangan para nabi dalam rangka menyebarkan misinya, yaitu risalah yang diturunkan oleh Allah Swt kepada para nabi untuk kemudian ditransmisikan kepada seluruh umat, maka sebagai seorang santri hendaknya mampu menjadi cerminan serta teladan hidup bagi siapapun dalam permasalahan keagamaan ini.
Ditinjau dari struktur katanya, kata santri memiliki makna dan maksud tertentu, secara substansial memiliki beban moral untuk men-syiar-kan agama Islam. Sementara ditinjau dari segi arti perkatanya, kata santri terdiri dari sekumpulan huruf hijaiyah, yang dari masing-masing hurufnya menyimpan maksud yang sangat potensial. Adapun yang dimaksudkan dari sekumpulan huruf-huruf hijaiyah itu adalah sebagai berikut: Sin, Nun, Ta’, Ra’dan Ya’.
                         1.            Sin, salikun ila al-khairat. Santri harus menuju pada jalan akhirat.
                         2.            Nun, naibun ‘ani al-masyayikh. Santri adalah generasi pengganti para guru (ulama’)
                         3.            Ta’, tarikun ‘ani al-ma’ashi. Santri harus mampu menjauhkan diri dari perbuatan ma’siyat.
                         4.            Ra’, raghibun fi al-khairat. Santri harus senang dalam hal kebaikan.
                         5.            Ya’, yarju al-salamatah fi al-din wa al-dunya wa al-khirah. Santri harus selalu mengharap keselamatan di dalam agama, duniya dan akhirat.
Hemat penulis santri itu:
                         1.            Sin”, membentuk struktur suku kata menjadi “Saabiqul Khair: orang yang berlomba-lomba dalam suatu kebaikan”. Atau, “Saabiqul Khairat: berlomba-lomba menyongsong perkara akhirat”. Bahwa santri merupakan hamba yang sangat menekuni di bidang keagamaan.
                         2.            Nun: Naaibul Ulama’”. Dalam hal ini, santri sejatinya sebagai kelanjutan para ulamak di dalam mengembangkan atau  mentransmisikan dakwah para ulama; yang dalam prinsipnya ingin menciptakan tatanan kehidupan yang baik.
                         3.            Ta’: Taarikul Ma’asi (orang yang meninggalkan maksiat)”. Artinya, bahwa santri adalah seseorang yang senantiasa menjauhi perkara kemaksiatan. Karenanya, masyarakat lebih mempertimbangkan pesantren dari pada pendidikan selain pesantren, karena mereka yakin, pendidikan di pesantren tentu lebih bermutu untuk mencetak kader santri unggulan dalam menekuni keagamaan.
                         4.            Ra’: Rajaul Ummah (pemimpin umat)”, maksudnya adalah, bahwa santri merupakan panutan dan teladan hidup bagi seluruh umah.
                         5.            Ya: yamuru bi al-ma’ruf wa yanha ‘an al-mungkar,”bahwa mengarahkan kepada perkara yang baik, mencegah yang mungkar, yang cendrung melenceng dari ajaran syari’ah, sebagaimana telah diajarkan oleh Rasulullah Saw, para sahabat, kemudian diimplementasikan oleh para ulama, dirawatnya untuk kemudian terus diajarkan kepada kita. Dengan kata lain, santri, menurut Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin (Rais ‘Aam PBNU), adalah sebagai mutafaqih fiddin. Sebab dari para santri inilah akan lahir kader-kader baru yang akan meneruskan perjuangan para ulamak yang telah mendahului mereka.
Pendefinisian di atas ini tidak lah jauh berbeda dengan yang didefinisikan dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), yaitu “orang yang beriman dan taat beribadah kepada Allah, santun dalam bersosial, serta orang yang saleh”. Karena itu pada diri santri mimang tersemai embrio yang dengannya dipersiapkan untuk umat memperbaiki tatanan kehidupan menjadi semakin lebih baik. Dalam arti, pada masing-masing huruf yang terkandung dalam kalimat “santri” mengindikasikan sebagai orang pilihan, yang padanya berpotensi mampu menjadi figur bagi kehidupan.
Keterkaitan Agama dengan Akhlaq
Dalam hal ini, kaitannya agama dengan akhlaq sangatlah erat sekali, ia bahkan menunjukkan dua hal penting yang tidak boleh dilepaskan apalagi sampai mengesampingkan salah satunya. Agama dan akhlaq sangatlah erat dan saling melengkapi. Ibarat bak mandi, agama adalah wadah, sementara akhlaq ibarat air yang mengisi bak mandi. Maka adanya air menjadi sesuatu yang signifikan adanya. Maka demikian pula dengan agama dan akhlaq, hal ini tiada lain adalah keinginan untuk mengembalikan peran agama agar lebih operatif-fungsional; agama bukan semata urusan ibadah mahdah tetapi juga ghairu mahdah, termasuk di dalamnya ibadah sosial.
Dalam pendidikan budi pekerti, ditanamkan nilai-nilai moral ke dalam sikap dan perilaku generasi bangsa agar memiliki kesantunan dalam berinteraksi, bersikap jujur, toleran, disiplin, bersih, penuh kasih sayang, punya kepenasaran intelektual, dan kreatif. Di sini kepengatahuan agama yang dipelajari para santri menjadi sumber nilai dan penggerak perilaku mereka. Dalam struktur ajaran Islam, misalnya, pendidikan akhlaq dan budi pekerti adalah yang terpenting pengetahuan akidah dasar. Sementara ibadah adalah sarana, sedangkan tujuan akhirnya adalah akhlaq. Nabi Saw pernah bersabda, “Mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya,” (HR. abu Daud dan Ahmad). Dalam hadis lain, “Orang yang paling baik Islamnya adalah yang paling baik Islamnya adalah akhlaqnya,” (HR. Ahmad).
Pesantren, Santri dan Hubungannya dengan Akhlaq
Oleh sebab itulah, sampai detik ini, pesantren menjadi sasaran utama masyarakat karena keistiqomahannya melestarikan budaya religius yang dari semula diajarkankan di pesantren, dan sampai detik ini eksistensi pesantren tidak mengalami perubahan dalam menciptakan akhlaq dalam menghiasi kehidupan, sementara santri (orang yang belajar di pesantren) lebih dipercaya masyarakat sebagai panutan ketimbang mereka yang tidak pernah nyantri. Sebab santri dalam kehidupannya dilatih untuk senantiasa tidak melepaskan dari bersikap jujur dan lebih faham untuk memilih mana antara yang pantas untuk dikerjakan dan mana pula yang seharusnya ditinggalkan.
Semua pesantren, mulai dari pesantren regional sampai tingkat nasional, memiliki visi dan misi yang sama, yaitu sama-sama menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Konsep amar ma’ruf nahi mungkar secara normatif sejalan dengan faham ahlussunnah waljama’ah (aswaja). Faham aswaja sederhananya adalah faham yang memuat nilai ajaran Alquran dan Hadis. Hadis di sini adalah perbuatan yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw. Perbuatan Nabi adalah akhlaq al-karimah atau sopan santun (Zaitur Rahem, 2016: 116). Karenanya, sampai hari ini, pesantren tetap menjadi rujukan utama masyarakat. Karena pesantren tetap melestarikan tradisi keagamaan agar hal itu tidak punah, misalnya dalam melestarikan etika yang baik. Tentu, praktek keagamaan yang seperti ini yang selalu terus diupayakan untuk menjadi kebiasaan paling intim bagi kehidupan santri, adalah sangat jarang dijumpai di beberapa pendidikan di luar pesantren.
Pengasuh pondok pesantren Annuqayah Latee, Prof. Dr. KH. Abd. A’la, membedakan antara santri dan pelajar. Menurutnya, santri itu tidak hanya belajar untuk menuntut ilmu, tapi juga untuk beribadah kepada Allah Swt, dauh beliau dalam tausyiyahnya, kepada seluruh santri Latee selepas berjemaah maghrib di mushalla Pondok Pesantren Annuqayah Latee (31/1).
Allah Swt mengutus Nabi Muhammad Saw ke muka bumi untuk memperkenalkan perilaku kehidupan yang baik. Dalam hadis beliau menegaskan, “inama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq,aku diutus ke muka bumi, tidak lain untuk menyempurnakan akhlaq”. Sebagai representasi utama umat Islam, Nabi Muhammad sendiri memberikan teladan hidup yang baik. Beliau mempraktekkan akhlaq sebagai perilaku dalam kesehariannya, baik akhlaq dalam bersosial, berdagang, akhlaq dalam menjalankan pemerintahan, dalam tidur, ketika bangun sampai akan tidur lagi, beliau tidak pernah lalai dalam mempraktekkan akhlaq. Jauh dari itu, kepada komunitas keagamaan di luar Islam pun, beliau tidak lepas dari mempraktekkan akhlaq. Karenanya, akhlaq harus menjadi bagian integral dalam kehidupan, sebab dengan akhlaq itulah kebaikan manusia bisa diukur. Segala aktifitas meskipun ringan, yang tanpa dilandasi dengan akhlaq, maka akan sia-sia.

Dari pemaparan di atas, santri menjadi tempat paling sentral sebagai panutan dalam mengembangkan substansi nilai-nilai moral Islam. Karena santri sedari pesantren mimang sudah dibiasakan untuk membiasakan mengimplementasikan akhlaqul karimah, sebab akhlaqul karimah sejatinya telah dicontohkan oleh Rasulullah, maka akhlaqul karimah harus menjadi watak atau karakter yang melekat pada diri seorang santri. Terhadap misi luhur ini, siapa pun harus menjadikan akhlaq ini sebagai ruh (spirit) untuk diaktualisaikan dalam bingkai kehidupan sehari-hari. Sementara santri, hemat penulis, sudah pada kategori ini, yaitu dibiasakan menghiasi kehidupannya dengan akhlaq sebagai integritas pribadinya. Maka inilah, menurut penulis, kelebihan santri yang belajar di pesantren, yang tidak ditemukan di luar pesantren.