Santri dan Pelajar; Dua Hal yang Berbeda .Oleh: Ashimuddin Musa
Dalam laporan Jawa
Pos Radar Madura edisi Pebruari 2012 mengabarkan, beberapa orang yang mengatas-namakan
aliansi guru sukwan dan aktivis PMII, menggelar aksi demonstrasi di depan
gedung PKPN, Jalan Rajawali, Sampang. Sementara itu, mentri pendidikan dan
kebudayaan (mendikbud), Muhadjir Effendy, pada saat itu sedang menghadiri kota
Sampang dalam rangka memberikan pengarahan dan pembinaan langsung pada kepala
sekolah di lingkungan dinas pendidikan Sampang. Lukman Hakim, sebagai
koordinator lapangan (korlap), kepada mendigbud menyampaikan, bahwa dunia
pendidikan di Sampang saat ini tercoreng. Kasus pembunuhan Guru yang dilakukan
oleh muridnya sendiri, membuktikan penerapan pendidikan karakter belum berjalan
dengan baik.
Selain itu, Lukman juga menyampaikan, konsep fulll day
school (FDS) dianggap tidak cocok dipraktekkan di pedesaan Madura: termasuk
di Sampang. Lebih lanjut, FDS juga dinilai mengancam keberadaan pendidikan
madrasah diniyah (madin). Sebab madin bagi masyarakat dipandang memberikan
sumbangan cukup besar terhadap pembentukan karakter, malah terancam
dipersempit.
Muhadjir Effendy membenarkan, bahwa apa yang menjadi
kekhowatiran mereka bukanlah fiktif, sehingga wajar apabila mereka menekankan
pentingnya memperbaiki kualitas pendidikan karakter, agar kasus yang kurang
mengindahkan ini tidak terjadi kembali di kota Sampang. Meskipun begitu, dia
tidak membenarkan jika dalam program kerja mendigbud menerapkan konsep FDS
tersebut. Tetapi dia juga tidak menapikan kalau berapa pendidikan, mimang ada
yang mempraktekan full day ini.
Pendidikan merupakan lembaga yang paling strategis dan
signifikan untuk menciptakan sosial yang bermartabat secara sistematis, tetapi
tantangannya pun cukup besar. Karena itu, di lembaga pendidikan diharapkan
mampu menjauhi hal-hal yang dapat mengantarkan para siswa pada perilaku
amoral—misalnya, berucap yang tidak sopan. Jauh dari itu, para guru diharapkan
mampu menjadi cerminan dalam mewujudkan perilaku yang baik, guna menanamkan
krakter yang baik kepada para anak didiknya. Oleh sebab itu, membicarakan
pesantren, kaitannya dengan penerapan pendidikan begitu signifikan, yang
dengannya tidak ditemukan di pendidikan-pendidikan di luar pesantren.
Pengertian Santri
Membicarakan akhlaq santri, adalah sesuatu yang signifikan.
Sebab santri merupakan kader kelanjutan dalam hal menyampaikan misi nubuweh (kenabian).
Dalam kesehariannya, ia dididik dan dibina untuk selalu membiasakan menjaga akhlaq
yang baik. Maka sebagai kelanjutan dari perjuangan para nabi dalam rangka
menyebarkan misinya, yaitu risalah yang diturunkan oleh Allah Swt kepada para
nabi untuk kemudian ditransmisikan kepada seluruh umat, maka sebagai seorang
santri hendaknya mampu menjadi cerminan serta teladan hidup bagi siapapun dalam
permasalahan keagamaan ini.
Ditinjau dari struktur katanya, kata santri memiliki makna
dan maksud tertentu, secara substansial memiliki beban moral untuk men-syiar-kan
agama Islam. Sementara ditinjau dari segi arti perkatanya, kata santri terdiri
dari sekumpulan huruf hijaiyah, yang dari masing-masing hurufnya menyimpan
maksud yang sangat potensial. Adapun yang dimaksudkan dari sekumpulan
huruf-huruf hijaiyah itu adalah sebagai berikut: Sin, Nun, Ta’, Ra’dan
Ya’.
1.
Sin, salikun ila
al-khairat. Santri harus menuju pada jalan akhirat.
2.
Nun, naibun ‘ani
al-masyayikh. Santri adalah generasi pengganti para guru (ulama’)
3.
Ta’, tarikun ‘ani
al-ma’ashi. Santri harus mampu menjauhkan diri dari perbuatan ma’siyat.
4.
Ra’, raghibun fi
al-khairat. Santri harus senang dalam hal kebaikan.
5.
Ya’, yarju al-salamatah
fi al-din wa al-dunya wa al-khirah. Santri harus selalu mengharap
keselamatan di dalam agama, duniya dan akhirat.
Hemat penulis santri itu:
1.
“Sin”, membentuk
struktur suku kata menjadi “Saabiqul Khair: orang yang berlomba-lomba
dalam suatu kebaikan”. Atau, “Saabiqul Khairat: berlomba-lomba
menyongsong perkara akhirat”. Bahwa santri merupakan hamba yang sangat menekuni
di bidang keagamaan.
2.
“Nun: Naaibul
Ulama’”. Dalam hal ini, santri sejatinya sebagai kelanjutan para ulamak di
dalam mengembangkan atau mentransmisikan
dakwah para ulama; yang dalam prinsipnya ingin menciptakan tatanan kehidupan
yang baik.
3.
“Ta’: Taarikul
Ma’asi (orang yang meninggalkan maksiat)”. Artinya, bahwa santri adalah
seseorang yang senantiasa menjauhi perkara kemaksiatan. Karenanya, masyarakat
lebih mempertimbangkan pesantren dari pada pendidikan selain pesantren, karena
mereka yakin, pendidikan di pesantren tentu lebih bermutu untuk mencetak kader
santri unggulan dalam menekuni keagamaan.
4.
“Ra’: Rajaul
Ummah (pemimpin umat)”, maksudnya adalah, bahwa santri merupakan panutan
dan teladan hidup bagi seluruh umah.
5.
“Ya: yamuru bi
al-ma’ruf wa yanha ‘an al-mungkar,”bahwa mengarahkan kepada perkara yang
baik, mencegah yang mungkar, yang cendrung melenceng dari ajaran syari’ah,
sebagaimana telah diajarkan oleh Rasulullah Saw, para sahabat, kemudian
diimplementasikan oleh para ulama, dirawatnya untuk kemudian terus diajarkan kepada
kita. Dengan kata lain, santri,
menurut Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin (Rais ‘Aam PBNU), adalah sebagai mutafaqih
fiddin. Sebab dari para santri inilah akan lahir kader-kader baru yang akan
meneruskan perjuangan para ulamak yang telah mendahului mereka.
Pendefinisian di atas ini tidak lah jauh berbeda dengan yang
didefinisikan dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), yaitu “orang yang
beriman dan taat beribadah kepada Allah, santun dalam bersosial, serta orang
yang saleh”. Karena itu pada diri santri mimang tersemai embrio yang dengannya
dipersiapkan untuk umat memperbaiki tatanan kehidupan menjadi semakin lebih
baik. Dalam arti, pada masing-masing huruf yang terkandung dalam kalimat
“santri” mengindikasikan sebagai orang pilihan, yang padanya berpotensi mampu
menjadi figur bagi kehidupan.
Keterkaitan Agama dengan Akhlaq
Dalam hal ini, kaitannya agama dengan akhlaq sangatlah erat
sekali, ia bahkan menunjukkan dua hal penting yang tidak boleh dilepaskan
apalagi sampai mengesampingkan salah satunya. Agama dan akhlaq sangatlah erat
dan saling melengkapi. Ibarat bak mandi, agama adalah wadah, sementara akhlaq
ibarat air yang mengisi bak mandi. Maka adanya air menjadi sesuatu yang
signifikan adanya. Maka demikian pula dengan agama dan akhlaq, hal ini tiada lain
adalah keinginan untuk mengembalikan peran agama agar lebih
operatif-fungsional; agama bukan semata urusan ibadah mahdah tetapi juga
ghairu mahdah, termasuk di dalamnya ibadah sosial.
Dalam pendidikan budi pekerti, ditanamkan nilai-nilai moral
ke dalam sikap dan perilaku generasi bangsa agar memiliki kesantunan dalam
berinteraksi, bersikap jujur, toleran, disiplin, bersih, penuh kasih sayang,
punya kepenasaran intelektual, dan kreatif. Di sini kepengatahuan agama yang
dipelajari para santri menjadi sumber nilai dan penggerak perilaku mereka.
Dalam struktur ajaran Islam, misalnya, pendidikan akhlaq dan budi pekerti
adalah yang terpenting pengetahuan akidah dasar. Sementara ibadah adalah
sarana, sedangkan tujuan akhirnya adalah akhlaq. Nabi Saw pernah bersabda,
“Mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya,” (HR.
abu Daud dan Ahmad). Dalam hadis lain, “Orang yang paling baik Islamnya adalah
yang paling baik Islamnya adalah akhlaqnya,” (HR. Ahmad).
Pesantren, Santri dan Hubungannya
dengan Akhlaq
Oleh sebab itulah, sampai detik ini, pesantren menjadi
sasaran utama masyarakat karena keistiqomahannya melestarikan budaya religius
yang dari semula diajarkankan di pesantren, dan sampai detik ini eksistensi
pesantren tidak mengalami perubahan dalam menciptakan akhlaq dalam menghiasi
kehidupan, sementara santri (orang yang belajar di pesantren) lebih dipercaya
masyarakat sebagai panutan ketimbang mereka yang tidak pernah nyantri. Sebab
santri dalam kehidupannya dilatih untuk senantiasa tidak melepaskan dari
bersikap jujur dan lebih faham untuk memilih mana antara yang pantas untuk
dikerjakan dan mana pula yang seharusnya ditinggalkan.
Semua pesantren, mulai dari pesantren regional sampai
tingkat nasional, memiliki visi dan misi yang sama, yaitu sama-sama menegakkan amar
ma’ruf nahi mungkar. Konsep amar ma’ruf nahi mungkar secara normatif
sejalan dengan faham ahlussunnah waljama’ah (aswaja). Faham aswaja
sederhananya adalah faham yang memuat nilai ajaran Alquran dan Hadis. Hadis di sini
adalah perbuatan yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw. Perbuatan Nabi adalah akhlaq
al-karimah atau sopan santun (Zaitur Rahem, 2016: 116). Karenanya, sampai
hari ini, pesantren tetap menjadi rujukan utama masyarakat. Karena pesantren
tetap melestarikan tradisi keagamaan agar hal itu tidak punah, misalnya dalam melestarikan
etika yang baik. Tentu, praktek keagamaan yang seperti ini yang selalu terus
diupayakan untuk menjadi kebiasaan paling intim bagi kehidupan santri, adalah
sangat jarang dijumpai di beberapa pendidikan di luar pesantren.
Pengasuh pondok pesantren Annuqayah Latee, Prof. Dr. KH. Abd. A’la, membedakan antara
santri dan pelajar. Menurutnya, santri itu tidak hanya belajar untuk menuntut
ilmu, tapi juga untuk beribadah kepada Allah Swt, dauh beliau dalam tausyiyahnya,
kepada seluruh santri Latee selepas berjemaah maghrib di mushalla Pondok
Pesantren Annuqayah Latee (31/1).
Allah Swt mengutus Nabi Muhammad Saw ke muka bumi untuk
memperkenalkan perilaku kehidupan yang baik. Dalam hadis beliau menegaskan, “inama
bu’itstu liutammima makarimal akhlaq,aku diutus ke muka bumi, tidak lain
untuk menyempurnakan akhlaq”. Sebagai representasi utama umat Islam, Nabi
Muhammad sendiri memberikan teladan hidup yang baik. Beliau mempraktekkan
akhlaq sebagai perilaku dalam kesehariannya, baik akhlaq dalam bersosial,
berdagang, akhlaq dalam menjalankan pemerintahan, dalam tidur, ketika bangun
sampai akan tidur lagi, beliau tidak pernah lalai dalam mempraktekkan akhlaq.
Jauh dari itu, kepada komunitas keagamaan di luar Islam pun, beliau tidak lepas
dari mempraktekkan akhlaq. Karenanya, akhlaq harus menjadi bagian integral
dalam kehidupan, sebab dengan akhlaq itulah kebaikan manusia bisa diukur.
Segala aktifitas meskipun ringan, yang tanpa dilandasi dengan akhlaq, maka akan
sia-sia.
Dari pemaparan di atas, santri menjadi tempat paling sentral
sebagai panutan dalam mengembangkan substansi nilai-nilai moral Islam. Karena
santri sedari pesantren mimang sudah dibiasakan untuk membiasakan
mengimplementasikan akhlaqul karimah, sebab akhlaqul karimah
sejatinya telah dicontohkan oleh Rasulullah, maka akhlaqul karimah harus
menjadi watak atau karakter yang melekat pada diri seorang santri. Terhadap
misi luhur ini, siapa pun harus menjadikan akhlaq ini sebagai ruh (spirit) untuk
diaktualisaikan dalam bingkai kehidupan sehari-hari. Sementara santri, hemat
penulis, sudah pada kategori ini, yaitu dibiasakan menghiasi kehidupannya
dengan akhlaq sebagai integritas pribadinya. Maka inilah, menurut penulis,
kelebihan santri yang belajar di pesantren, yang tidak ditemukan di luar
pesantren.