MENELADANI KISAH-KISAH KEHIDUPAN PARA KEKASIH ALLAH
Judul
buku : Qisasul Auliya’ (Kisah-kisah
Para Kekasih Allah)
Penulis : Muhammad Khalid Tsabit
Penerbit : Qaf Media Kreative
Cetakan : Pertama, Februari 2018
Tebal : 364 halaman
ISBN : 978-602-5547-14-0
Umat Islam seringkali memperdebatkan
masalah-masalah fikih, yang perdebatannya tersebut sampai detik ini masih
mengalir deras di tengah-tengah umat Islam. Akan tetapi sangat sulit di antara
mereka yang mengangkat tema dalam dialog mereka terkait dengan bagaimana
merenungi para kekasih Allah. Mereka sepertinya tidak menyadari bahwa merenungi
para kekasih Allah adalah jauh lebih signifikan dari pada sekedar berdebat
dalam masalah furuiyah.
Secara teologis, Alqur’an dianggap mempunyai
kebenaran absolut dan abadi, namun ketika Alquran ditafsirkan dan masuk dalam
disket (memori) pemikiran manusia yang syarat dengan berbagai prejudice,
situasi sosio-historis, yang melingkupinya, maka kebenaran penafsiran menjadi
relatif sifatnya. Hal ini dibuktikan oleh banyak madzhab yang berkembang dalam
Islam baik di bidang tafsir, teologi, fikih, tashawuf, tafsir yang semuanya
cendrung mengklaim dirinya merujuk pada Alquran. Buku ini mengangkat sisi lain
dalam kajiannnya. Penulis buku ini ingin mengajak kita merenungi kisah-kisah
perjalanan para kekasih Allah, karena itulah menghayati perjalanan hidup para
kekasih Allah ini, karekter, dan kesucian hati mereka serta kisah-kisah mereka
merupakan salah satu penghayatan terbaik yang mampu mengukuhkan cita-cita dan
menanamkan cinta akan kebaikan (hlm. 5).
Sementara itu, yang sangat terkesan dari perkataan
Imam Abu Hanifah, imam fiqih madzhab Hanafi, adalah, “Aku lebih mencintai
hikayat tentang para kekasih Allah (auliya’) dan keindahan akhlaq mereka
dari pada membicarakan banyak masalah fikih. Karena mereka itu layaknya
‘sosok-sosok pendidik’ bagi masyarakat (adab al-qaum)” (hlm. 6).
Dengan mendiskusikan kembali hikayat mereka dapat
mengantarkan kecintaan kita kepada mereka. Berbeda halnya dengan selalu
memperdebatkan maslah-masalah fikih, karena memperdebatkan perbedaan khilafiyah
di antara mereka, seringkali mengantarkan mereka pada perpecahan . Akibatnya,
mereka dapat melupakan pesan utama agama Islam yang menjunjung tinggi
solidaritas dalam menjaga spirit persatuan dan kesatuan. Dan karena itu, sang Hujjatul
Islam, Imam Ghazali, dalam kitab Bidayah al-Hidayah-nya, melarang keras
umat Islam agar tidak selalu berdebat, karena bisa saja hal itu bisa menyakiti
perasaan pihak lawan, sementara yang demikian itu merupakan perbuatan yang
tercela.
Belajar ilmu fikih, hadis itu penting. Tetapi
tidak kalah pentingnya jika diimbangi dengan dirajut kisah-kisah pelembut hati
dan perenungan tentang perjalanan hidup generasi salaf al-saleh. Menurut
Ibnu al-Qayyim, jika kita hanya sibuk mempelajari fikih dan hadis, misalnya,
tanpa adanya perenungan terhadap kisah-kisah para kekasih Allah adalah kurang berarti.
Sebab, para kekasih Allah, menurutnya, telah mencapai penghayatan dan
pengalaman yang dimaksudkan oleh hadis-hadis, mereka juga telah melampaui
bentuk-bentuk ketaatan yang diperintahkan dan merasakan nikmat dan kelezatan
makna dan maksud yang terkandung dalam bentuk-bentuk ketaatan itu (hlm. 7).
Buku ini mendokumentasikan 153 kisah para kekasih
Allah (dengan pengantar ringkas tentang pribadi para tokoh) yang kebanyakan
bertema kisah-kisah perjalanan spiritual para kekasih Allah yang dirangkai secara
tematik, seperti Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali, al-Ghazali, Imam Qusyairi,
Ibn Hisyam, Khalid Muhammad Khalid, atau al-Kuhin al-Fasi dan lain-lain. Setiap
kisah diungkapkan dalam bentuk narasi dengan model dialog. Misalnya kisah Hatim
al-Ashamm (si tuli), dia kemudia dikenal dengan Hatim al-Ashamm karena sikap
luhurnya menjaga perasaan sang tamu. “Kala
itu, Hatim sedang mengajar. Tiba-tiba seorang perempuan datang menemuinya untuk
bertanya. Di tengah percakapannya dengan Hatim, tiba-tiba bunyi keras kentut
keluar darinya. Merahlah muka perempuan itu karena malu yang tak
tertanggungkan… Hatim serta-merta memegang kedua telinganya sambil berkata:
“keraskan suaramu, aku tak dapat mendengar ucapanmu! Tolong keraskan ucapanmu!”
(hlm. 20).
Ada pula kisah yang pesan moralnya mengajarkan
kita sebuah kejujuran. Misalnya kisah anatara dialog ibu dan anak, yang dalam
suatu ketika didengar oleh Amir al-Mu’minin, Khalifah Umar. Dalam dialog itu,
ibu ini menyuruh kepada anak perempuannya untuk mencampur susu dengan air.
Padahal, Umar menetapkan agar tidak melakukan itu. Si anak kemudian menyangkal,
dengan alasan bahwa hal itu melanggar aturan Khalifah. Karena itu, si anak
perempuannya tidak mau melakukannya. Si ibu menjawab, “Anakku, segera bangun
dan campur susu itu dengan air, karena engkau tidak dilihat Umar dan pegawai
yang mengumumkan peraturan itu” (hlm. 104).
Masih banyak kisah-kisah menarik lainnya yang
diangkat di dalam buku ini. Semua kisah yang dirangkum dalam bentul tematik memiliki
pesan moral yang dengannya harus betul-betul diperhatikan. Karena itu buku yang
merupakan terjemahan dari pengarangnya, Muhammad Khalid Tsabit, dengan judul
asli, “Qishashul Awliya’ Lil Wa’izh wal-Khatib wal-Mu’allim wal-Murabbi
wal-Murabbi wal-Qari’ al-‘Adi” ini amat penting dibaca agar selain kita
mempelajari ilmu-ilmu seperti ilmu fikih, hadis dan lain-lain, tanpa adanya
pengamalan ilmu, menurut Imam Abu Hanifah, adalah kurang begitu pentingnya.
Dengan membaca buku ini lalu dilanjutkan pada tingkat pengamalan ilmu, dengan
meniru para kekasih Allah sebagaimana tercermin dalam kisah-kisah seperti di
dalam buku ini, insyaAllah anda akan menjadi orang yang selamat.