Sunday, April 29, 2018

BEGINILAH GAYA HIDUP PARA KEKASIH ALLAH


MENELADANI KISAH-KISAH KEHIDUPAN PARA KEKASIH ALLAH

 

Judul buku      : Qisasul Auliya’ (Kisah-kisah Para Kekasih Allah)

Penulis             : Muhammad Khalid Tsabit

Penerbit           : Qaf Media Kreative

Cetakan           : Pertama, Februari 2018

Tebal               : 364 halaman

ISBN               : 978-602-5547-14-0

 

Umat Islam seringkali memperdebatkan masalah-masalah fikih, yang perdebatannya tersebut sampai detik ini masih mengalir deras di tengah-tengah umat Islam. Akan tetapi sangat sulit di antara mereka yang mengangkat tema dalam dialog mereka terkait dengan bagaimana merenungi para kekasih Allah. Mereka sepertinya tidak menyadari bahwa merenungi para kekasih Allah adalah jauh lebih signifikan dari pada sekedar berdebat dalam masalah furuiyah.
Secara teologis, Alqur’an dianggap mempunyai kebenaran absolut dan abadi, namun ketika Alquran ditafsirkan dan masuk dalam disket (memori) pemikiran manusia yang syarat dengan berbagai prejudice, situasi sosio-historis, yang melingkupinya, maka kebenaran penafsiran menjadi relatif sifatnya. Hal ini dibuktikan oleh banyak madzhab yang berkembang dalam Islam baik di bidang tafsir, teologi, fikih, tashawuf, tafsir yang semuanya cendrung mengklaim dirinya merujuk pada Alquran. Buku ini mengangkat sisi lain dalam kajiannnya. Penulis buku ini ingin mengajak kita merenungi kisah-kisah perjalanan para kekasih Allah, karena itulah menghayati perjalanan hidup para kekasih Allah ini, karekter, dan kesucian hati mereka serta kisah-kisah mereka merupakan salah satu penghayatan terbaik yang mampu mengukuhkan cita-cita dan menanamkan cinta akan kebaikan (hlm. 5).
Sementara itu, yang sangat terkesan dari perkataan Imam Abu Hanifah, imam fiqih madzhab Hanafi, adalah, “Aku lebih mencintai hikayat tentang para kekasih Allah (auliya’) dan keindahan akhlaq mereka dari pada membicarakan banyak masalah fikih. Karena mereka itu layaknya ‘sosok-sosok pendidik’ bagi masyarakat (adab al-qaum)” (hlm. 6).
Dengan mendiskusikan kembali hikayat mereka dapat mengantarkan kecintaan kita kepada mereka. Berbeda halnya dengan selalu memperdebatkan maslah-masalah fikih, karena memperdebatkan perbedaan khilafiyah di antara mereka, seringkali mengantarkan mereka pada perpecahan . Akibatnya, mereka dapat melupakan pesan utama agama Islam yang menjunjung tinggi solidaritas dalam menjaga spirit persatuan dan kesatuan. Dan karena itu, sang Hujjatul Islam, Imam Ghazali, dalam kitab Bidayah al-Hidayah-nya, melarang keras umat Islam agar tidak selalu berdebat, karena bisa saja hal itu bisa menyakiti perasaan pihak lawan, sementara yang demikian itu merupakan perbuatan yang tercela.
Belajar ilmu fikih, hadis itu penting. Tetapi tidak kalah pentingnya jika diimbangi dengan dirajut kisah-kisah pelembut hati dan perenungan tentang perjalanan hidup generasi salaf al-saleh. Menurut Ibnu al-Qayyim, jika kita hanya sibuk mempelajari fikih dan hadis, misalnya, tanpa adanya perenungan terhadap kisah-kisah para kekasih Allah adalah kurang berarti. Sebab, para kekasih Allah, menurutnya, telah mencapai penghayatan dan pengalaman yang dimaksudkan oleh hadis-hadis, mereka juga telah melampaui bentuk-bentuk ketaatan yang diperintahkan dan merasakan nikmat dan kelezatan makna dan maksud yang terkandung dalam bentuk-bentuk ketaatan itu (hlm. 7).
Buku ini mendokumentasikan 153 kisah para kekasih Allah (dengan pengantar ringkas tentang pribadi para tokoh) yang kebanyakan bertema kisah-kisah perjalanan spiritual para kekasih Allah yang dirangkai secara tematik, seperti Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali, al-Ghazali, Imam Qusyairi, Ibn Hisyam, Khalid Muhammad Khalid, atau al-Kuhin al-Fasi dan lain-lain. Setiap kisah diungkapkan dalam bentuk narasi dengan model dialog. Misalnya kisah Hatim al-Ashamm (si tuli), dia kemudia dikenal dengan Hatim al-Ashamm karena sikap luhurnya menjaga perasaan sang tamu.  “Kala itu, Hatim sedang mengajar. Tiba-tiba seorang perempuan datang menemuinya untuk bertanya. Di tengah percakapannya dengan Hatim, tiba-tiba bunyi keras kentut keluar darinya. Merahlah muka perempuan itu karena malu yang tak tertanggungkan… Hatim serta-merta memegang kedua telinganya sambil berkata: “keraskan suaramu, aku tak dapat mendengar ucapanmu! Tolong keraskan ucapanmu!” (hlm. 20).
Ada pula kisah yang pesan moralnya mengajarkan kita sebuah kejujuran. Misalnya kisah anatara dialog ibu dan anak, yang dalam suatu ketika didengar oleh Amir al-Mu’minin, Khalifah Umar. Dalam dialog itu, ibu ini menyuruh kepada anak perempuannya untuk mencampur susu dengan air. Padahal, Umar menetapkan agar tidak melakukan itu. Si anak kemudian menyangkal, dengan alasan bahwa hal itu melanggar aturan Khalifah. Karena itu, si anak perempuannya tidak mau melakukannya. Si ibu menjawab, “Anakku, segera bangun dan campur susu itu dengan air, karena engkau tidak dilihat Umar dan pegawai yang mengumumkan peraturan itu” (hlm. 104).
Masih banyak kisah-kisah menarik lainnya yang diangkat di dalam buku ini. Semua kisah yang dirangkum dalam bentul tematik memiliki pesan moral yang dengannya harus betul-betul diperhatikan. Karena itu buku yang merupakan terjemahan dari pengarangnya, Muhammad Khalid Tsabit, dengan judul asli, “Qishashul Awliya’ Lil Wa’izh wal-Khatib wal-Mu’allim wal-Murabbi wal-Murabbi wal-Qari’ al-‘Adi” ini amat penting dibaca agar selain kita mempelajari ilmu-ilmu seperti ilmu fikih, hadis dan lain-lain, tanpa adanya pengamalan ilmu, menurut Imam Abu Hanifah, adalah kurang begitu pentingnya. Dengan membaca buku ini lalu dilanjutkan pada tingkat pengamalan ilmu, dengan meniru para kekasih Allah sebagaimana tercermin dalam kisah-kisah seperti di dalam buku ini, insyaAllah anda akan menjadi orang yang selamat.